Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor batubara Indonesia mencatatkan kinerja impresif sepanjang 2024, dengan produksi mencapai rekor 836 juta ton, naik 7,9% dibandingkan tahun sebelumnya.
Padahal, secara global, permintaan batubara sedang mengalami tren penurunan.
Baca Juga: Hilirisasi Besi-Baja Justru Dorong Indonesia Impor Batubara Kokas Lebih Banyak
Namun di balik lonjakan produksi tersebut, Energy Shift Institute (ESI) mengingatkan bahwa industri batubara nasional perlu segera melakukan diversifikasi usaha dan memulai transisi energi, selagi masih memiliki kekuatan finansial.
Dalam laporan terbarunya berjudul “Coal in Indonesia: Paradox of Strength and Uncertainty”, ESI menyoroti bahwa kekuatan finansial yang dinikmati sektor batubara belakangan ini hanyalah hasil dari lonjakan harga yang bersifat sementara.
“Periode harga tinggi yang berkepanjangan tampaknya telah berakhir. Meski harga masih berada di atas level pra-pandemi, nilainya sudah turun lebih dari separuh sejak 2022,” ujar Hazel Ilango, Principal dan Pemimpin Kajian Transisi Batubara Indonesia ESI, dalam media briefing, Selasa (17/6).
Baca Juga: Langka! China Mengekspor Batubara Kokas ke Indonesia
Hazel menegaskan, keunggulan industri batubara bukan bersifat struktural, melainkan karena siklus komoditas yang volatil.
Oleh sebab itu, perusahaan tambang perlu segera memanfaatkan kelebihan arus kas untuk menyiapkan fondasi bisnis jangka panjang yang lebih berkelanjutan.
Selama 2019–2023, sektor pertambangan dan jasa batubara di Indonesia menghasilkan laba bersih hingga US$31,4 miliar, menempatkannya di posisi kedua setelah sektor perbankan.
Kontribusi sektor ini terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional berkisar 3,6% dalam beberapa tahun terakhir.
Di daerah penghasil utama, kontribusinya jauh lebih besar: 40% di Kalimantan Timur, 25% di Sumatra Selatan, dan 15% di Kalimantan Selatan.
Namun, menurut laporan ESI, kontribusi ini berisiko menurun dalam jangka panjang jika perusahaan tambang tidak segera bertransformasi.
Baca Juga: Saham Batubara Berpeluang Pulih dari Berbagai Tekanan, Simak Rekomendasi Sahamnya
ESI melakukan analisis SWOT terhadap 12 perusahaan batubara utama di Indonesia, yakni: Indika Energy, Indo Tambangraya Megah, Adaro Andalan (AADI), ABM Investama, Bukit Asam, Geo Energy Resources, Prima Andalan Mandiri, Harum Energy, Bayan Resources, Bumi Resources, Golden Energy Mines, dan Baramuti Suksessarana.
Hasil kajian menunjukkan, sebagian besar tambang batubara merupakan aset matang (mature assets) yang bisa mempertahankan tingkat produksi dengan kebutuhan investasi yang relatif rendah.
Selain itu, mayoritas perusahaan memiliki neraca keuangan yang kuat, dengan rata-rata rasio utang terhadap ekuitas hanya 21%, jauh di bawah rata-rata global yang mencapai 101%.
Putra Adhiguna, peneliti ESI, menyebut kondisi saat ini menempatkan Indonesia sebagai eksportir batubara termal terbesar di dunia, dengan posisi yang ideal untuk merancang transisi energi secara bertahap namun pasti.
“Kombinasi arus kas yang stabil, permintaan dan pasokan yang relatif terjaga, serta kepercayaan pasar yang kuat, adalah modal penting untuk mulai bergerak. Karena itu, kami mendorong perusahaan tambang Indonesia untuk tidak lagi bersikap wait-and-see,” tegas Putra.
Selanjutnya: Konsolidasi Bukan Satu-satunya Jaminan Dongkrak Kinerja BPR
Menarik Dibaca: Ada Diskon Tiket Kereta 30%, 952.639 Tiket Sudah Terjual
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News