Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesian Mining and Energi Forum (IMEF) menyoroti sejumlah poin perihal keputusan pemerintah yang akan membagikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada organisasi masyarakat (ormas) keagamaan.
Bagi-bagi tambang untuk ormas keagamaan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Singgih Widagdo, Ketua Indonesian Mining and Energi Forum menyoroti, pada Pasal 83a berbunyi penawaran secara prioritas WIUPK sebatas untuk ormas keagamaan. Bahkan dalam pasal yang sama ditegaskan ormas keagamaan harus sebagai pemegang saham mayoritas, pengendali dan tidak boleh bekerja sama dengan pemegang PKP2B sebelumnya dan/atau afiliasinya.
“Mengingat poin tersebut dan PP sebelumnya dalam mendapatkan WIUP dilakukan melalui lelang, dan dalam PP revisi bukan menawarkan WIUP melainkan WIUPK, maka IMEF akan memberikan sejumlah catatan penting,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Kamis (6/6).
Baca Juga: Ormas Keagamaan Dituntut Penuhi Syarat Sebelum Kelola Lahan Tambang
Pertama, Kementerian ESDM harus lebih memastikan dan mengevalusi teknik lebih detail atas wilayah hasil penciutan (relinquish) Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Adapun yang harus dievaluasi detail adalah besarnya cadangan batubara, kualitas batubara, infrastruktur yang harus dibangun, asumsi mining cost dan potensi pasar batubara. Lewat kepastian itu, ormas keagamaan tidak mendapatkan wilayah yang justru “pepesan kosong” atau malah merugikan ormas sendiri.
Singgih menegaskan, evaluasi ini sangat penting mengingat pelepasan wilayah eks PKP2B banyak yang tidak terkonsentrasi menjadi satu atau terpisah-pisah. Sehingga IUPK yang dimiliki ormas untuk dapat beroperasi harus secara detail memperhitungkan aspek investasi, biaya tambang, dan juga potensi pasar batubara ke depan. Khususnya proyeksi harga batubara di tengah kebijakan transisi energi oleh negara importir batubara.
Kedua, mengingat pemerintah berinisiatif memberikan penawaran khusus, maka Kementerian ESDM harus memastikan nilai penawaran (bukan lelang di mana harga minimal tentu diperhitungkan atas Kompensasi Data Informasi). Hal ini telah diperhitungkan atas KDI yang sebelumnya data eksplorasi telah dimiliki oleh PKP2B.
“Perhitungan Harga/Nilai Kompensai Data Informasi (KDI) harus seimbang agar tidak merugikan Pemerintah, sekaligus tidak merugikan ormas keagamaan,” jelasnya.
Baca Juga: Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Tidak Ambil Bagian dalam Pengelolaan Tambang
Ketiga, mengingat ormas keagamaan diwajibkan sebagai pemegang saham mayoritas maka sebaiknya ormas keagamaan harus mempersiapkan diri yang dibutuhkan dalam mengelola industri pertambangan batubara.
Beberapa persiapan ini adalah, persyaratan dalam PP sebelumnya terkait dengan kemampuan keuangan, kemampuan administrasi/manajemen, kemampuan teknis dan pengelolaan lingkungan harus dimiliki ormas keagamaan atau perusahaan yang didirikan ormas keagamaan untuk mengelola tambang.
Dengan memiliki persyaratan mengelola tambang, diharapkan ormas keagamaan dapat mengelola tambang dan mengoperasikan atas kaidah pertambangan yang benar atau good mining practice
Keempat, ormas harus menyadari bahwa mengelola tambang batubara bukan hal yang mudah. Dari sisi keteknikan bisa saja bekerja sama dengan profesional pertambangan. Namun sisi pasar, batubara akan berhadapan dengan kebijakan transisi energi negara lain, khususnya importir terbesar Indonesia (China dan India).
Maka sebelum memutuskan untuk menerima dua penawaran prioritas dari Pemerintah, harus tetap mempertimbangkan proyeksi jangka panjang batubara sebagai komoditas maupun sebagai energi di tengah kebijakan transisi energi.
Baca Juga: Jokowi Tegaskan Izin Tambang Diberikan ke Badan Usaha yang Ada di Ormas Keagamaan
Catatan untuk Pemerintah
Seperti diketahui, jika merujuk pada aturan sebelumnya tambang relinquish wilayah PKP2B seharusnya ditetapkan sebagai Wilayah Cadangan Nasional (WPN). Namun akhirnya justru dijadikan WIUPK yang dapat ditawarkan kepada BUMN atau Badan Usaha lain, termasuk dalam PP terbaru ditawarkan secara prioritas kepada ormas keagamaan.
“Maka arah konservasi cadangan energi batubara harus lebih diperhitungkan lebih matang ke depan. Rasio produksi harus dipikirkan, mengingat nilai strategis batubara masih diperhitungkan ke depan, apalagi RKAB tiga tahun berada di atas 900 juta per tahun,” ujarnya.
Kemudian, harus dipahami IUP Ekplorasi otomatis mendapat jaminan ke IUP Operasi Produksi, ini yang membuat pengendalian produksi batubara nasional menjadi tidak mudah.
Baca Juga: PMKRI: Ormas Keagamaan Kelola Tambang Bakal Picu Konflik Berkepanjangan
Dari Perpres No 22/2017 yang awalnya akan dikendalikan pada level 400 juta ton di 2019, dan wacana produksi nasional akan dikendalikan pada level 700 juta ton.
“Ironisnya saat ini justru penetapan RKAB selama 3 tahun menjadi 922 (2024), 917 juta ton (2025) dan 902 juta ton (902 juta ton),” kata Singgih.
Terakhir, dengan RKAB dan IUP Eksplorasi serta rencana Pemerintah memberikan prioritas WIUPK kepada ormas keagamaan maka dapat diproyeksikan produksi batubara nasional dapat mencapai 1 miliar ton per tahun dan rasio produksi nasional bisa jadi sebatas 30 sampai 35 tahun.
IMEF menegaskan, apapun yang tela diputuskan pemerintah, secara konstitusi dan harus dipahami bersama bahwa sumber daya alam termasuk batubara dan mineral, haknya ada di tangan rakyat, dan harus benar benar harus diawasi.
Pemerintah sebatas memiliki hak otoritas dan swasta atau ormas keagamaan sebatas memiliki kepemilikan tambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News