Reporter: Handoyo | Editor: Herlina Kartika Dewi
JAKARTA. Meningkatnya industri olahan biji kakao dalam negeri ternyata tak dibarengi dengan keseimbangan pasokan biji kakao. Pasalnya, produksi biji kakao domestik diperkirakan bakal terus menurun lantaran produktifitas kakao petani merosot akibat tanaman yang sudah tua. Imbasnya, impor biji kakao diperkirakan terus naik.
Mengutip data Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) pada 2006 produksi biji kakao domestik sekitar 650.000 ton. Namun, tahun 2013 lalu produksi biji kakao lokal hanya sekitar 450.000 ton. Tahun ini Askindo memperkirakan produksi biji kakao dalam negeri hanya akan mencapai 425.000 ton.
Padahal, kebutuhan biji kakao untuk industri saja diperkirakan mencapai sekitar 400.000 ton per tahun.
Imbasnya, impor biji kakao terus bertambah setiap tahun. Ketua Umum Askindo Zulhefi Sikumbang mengatakan tahun lalu impor biji kakao sekitar 40.000 ton. Ia memperkirakan pada tahun 2015 impor biji kakao akan kembali meningkat. "Impor kakao bisa naik lebih dari dua kali lipat menjadi 100.000 ton sampai 2015," kata Zulhefi, Selasa (11/2).
Sebenarnya, turunnya produksi biji kakao dalam negeri saat ini menyebabkan harga kakao di tingkat petani ikut terdongkrak. Saat ini harga biji kakao di tingkat petani sekitar Rp 33.000 per kilogram (kg), naik 65% ketimbang harga rata-rata tahun lalu yang sekitar Rp 20.000 per kg.
Bill Guyton, Presiden World Cocoa Foundation (WCF) mengatakan, perlu adanya kerjasama yang menyeluruh dari seluruh pemangku kepentingan di bidang kakao di Indonesia untuk mengatasi persoalan masalah produktifitas dan kesejahteraan bagi petani. "Kami fokus ke petani dan mendukung kenaikan pendapatan petani," kata Bill.
Selain produksi berkurang, tingginya impor kakao juga disebabkan bertambahnya produsen kakao olahan di dalam negeri. Sementara itu, ekspor kakao semakin berkurang lantaran pemerintah menerapkan bea keluar (BK) biji kakao. Untuk mendorong hilirisasi kakao, sejak tiga tahun lalu pemerintah menerapkan BK ekspor biji kakao yang ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan setiap bulan berdasarkan harga referensi.
Namun, pengusaha menilai penerapan BK kakao tak tetap sasaran. Alasannya, dari sekitar 14 perusahaan pengolahan biji kakao yang ada di Indonesia, mayoritas dimiliki perusahaan multinasional. "Sekitar 75% perusahaan pengolahan kakao dimiliki perusahaan multinasional. Hanya 25% dimiliki perusahaan nasional," beber Zulhefi.
Bahkan, menurut Zulhefi, sejak BK diberlakukan pada April 2010 hingga saat ini, kebijakan ini belum mampu membuat perusahaan pengolahan yang dulunya mati suri bisa kembali bangkit. Sebelum pemberlakukan BK, perusahaan pengolahan biji kakao yang beroperasi hanya enam perusahaan. Sedangkan delapan perusahaan lainnya mati suri. Hingga kini, kata Zulhefi, perusahaan lokal yang mati suri belum juga pulih.
Total kapasitas terpasang pabrik pengolahan biji kakao domestik, termasuk yang mati suri mencapai 850.000 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, yang berstatus siap giling hanya 650.000 ton per tahun.
Catatan saja, setelah penerapan BK biji kakao muncul lima perusahaan asing baru yang masuk. Kelima perusahaan tersebut antara lain, Barry Callebaut berkapasitas 30.000 ton per tahun di Makassar dan 100.000 ton di Bandung. Selain itu ada juga Cargill yang memiliki pabrik pengolahan kakao dengan kapasitas terpasang 60.000 ton per tahun, Guan Chong Cocoa berkapasitas 120.000 ton per tahun, JB Cocoa berkapasitas 50.000 ton dan Transmar berkapasitas 20.000 ton per tahun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News