kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.889   41,00   0,26%
  • IDX 7.204   63,03   0,88%
  • KOMPAS100 1.106   10,86   0,99%
  • LQ45 878   11,63   1,34%
  • ISSI 221   0,93   0,42%
  • IDX30 449   6,38   1,44%
  • IDXHIDIV20 540   5,74   1,07%
  • IDX80 127   1,43   1,14%
  • IDXV30 135   0,66   0,49%
  • IDXQ30 149   1,74   1,18%

Impor Migas Indonesia Terus Menanjak


Senin, 23 September 2024 / 16:08 WIB
Impor Migas Indonesia Terus Menanjak
ILUSTRASI. Impor minyak dan gas (migas) Indonesia terus menanjak.To match Exclusive CHINA-CRUDE/FUTURES REUTERS/Stringer/File Photo ATTENTION EDITORS - THIS PICTURE WAS PROVIDED BY A THIRD PARTY. THIS PICTURE IS DISTRIBUTED EXACTLY AS RECEIVED BY REUTERS, AS A SERVICE TO CLIENTS. CHINA OUT.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Impor minyak dan gas (migas) Indonesia terus menanjak. Nilainya bahkan mencapi RP 450 triliun per tahun dihabiskan untuk impor migas, terutama untuk kebutuhan liquefied petroleum gas (LPG).

Kontan mencatat, pemerintah perlu mengantisipasi kenaikan impor migas. Adapun nilai impor migas Indonesia pada Juli 2024 tercatat US$ 3,56 miliar, atau meningkat 8,78% dibandingkan Juni 2024 dan naik 13,59% dibandingkan Juli 2023.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan devisa negara setiap tahun keluar kurang lebih sekitar Rp 450 triliun untuk membeli migas, khususnya LPG.

Baca Juga: Impor Migas Indonesia Terus Melonjak, Apa yang Harus Dilakukan?

Menurut Bahlil, impor migas yang membengkak ini disebabkan konsumsi LPG Indonesia kurang lebih sekitar 7 juta ton dan industri dalam negeri hanya memiliki kapasitas produksi 1,9 juta ton saja sehingga sisanya impor untuk memenuhi kebutuhan LPG masyarakat.

Dihubungi Kontan, Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan, tahun 2023 nilai impor migas US$ 34.123 juta atau setara Rp 505 triliun, dengan impor LPG 2023 US$ 4.155 juta kurang lebih Rp 61,5 triliun (kurs Rp 14.800).

Sementara itu, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan impor migas fluktuatif menyesuaikan kebutuhan dalam negeri.

Untuk menekan impor migas ini, Bahlil mengungkapkan bahwa pemerintah ke depan akan membangun industri LPG dengan memanfaatkan potensi C3 C4 sebagai bahan baku LPG.

Bahlil menegaskan agar ke depan Indonesia bisa memiliki kemandirian dalam energi. Sebab, pada saat tergabung sebagai anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC), lifting minyak Indonesia mampu sekitar 1,6 juta barel per hari atau barrel oil per day (BOPD), sementara konsumsi 700.000 BOPD.

Untuk itu, Bahlil menyebut pemerintah akan mendorong lifting minyak dengan beberapa strategi di antaranya eksplorasi terhadap potensi sumur-sumur minyak baru, optimalisasi sumur-sumur minyak yang ada dan mengidentifikasi untuk mengoptimalkan potensi sumur-sumur idle yang masih produktif.

Catatan Kontan, dinamika harga minyak amat dipengaruhi oleh konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah. Perang terbuka antara Iran dan Israel akan berdampak pada harga minyak yang naik sehingga subsidi energi Indonesia bisa membengkak mencapai Rp 600 triliun.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, ketegangan di wilayah Timur Tengah dengan adanya perang terbuka antara Iran dan Israel berdampak pada kenaikan harga minyak bisa mencapai US$ 60. 

Baca Juga: Harga Minyak Tertekan, Kinerja Energi Mega Persada (ENRG) Diprediksi Tetap Tumbuh

Sebab, Iran menguasai Selat Hormuz yang memegang peran penting dalam perdagangan. Selat Hormuz ini berpengaruh terhadap 40%-50% perdagangan minyak global.

Untuk diketahui, harga minyak dunia saat ini berada di kisaran US$ 72 per barel untuk minyak mentah berjangka Brent. Dengan demikian, apabila terjadi peningkatan harga hingga US$ 60, maka harga minyak mentah bisa tembus ke posisi US$ 132 per barel.

"Itu hanya kenaikannya saja.  Jadi, kalau harga minyak saat itu katakanlah US$ 60 begitu, itu bisa menjadi US$ 120. Padahal saat itu sudah US$ 85 begitu ya, ditambah US$60 berarti lebih besar lagi. Nah sementara bagi kita, kita ini sudah dalam posisi net importer, artinya menjadi price taker," ungkap Komaidi.

Menurut Komaidi, Indonesia sebagai price taker tidak bisa menghindari harga minyak yang melonjak akibat perang Iran dan Israel lantaran tidak memiliki kontrol sama sekali.

"Di pasar minyak dunia, itu volume per harinya itu mendekati 95 juta barel. Indonesia itu konsumsinya 1,5 juta barel. Jadi kita itu hanya sebagian kecil dari konsumsi global. Artinya apa? Kita itu tidak punya daya sama sekali untuk bisa mengontrol harga," tutur Komaidi.

Komaidi menambahakan, perang terbuka Iran-Israel berisiko besar pada APBN yang harus ditanggung untuk menambah subsidi yang besarannya sekitar Rp 600 triliun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×