Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Impor air conditioner (AC) masih marak terjadi sehingga memiliki kekuatan harga, di sisi lain industri pendukung AC dalam negeri juga masih sangat lemah.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman mengatakan, saat ini pasar AC impor di pasar domestik mencapai 70% adapun kue yang dinikmati produsen AC lokal hanya di kisaran 20%-25% karena sejumlah faktor.
"Beberapa faktor tersebut adalah struktur industri dalam negeri, khususnya supporting industri masih sangat lemah. Kemudian skala produksi AC di China yang sangat besar sehingga memiliki kekuatan harga," jelasnya kepada Kontan.co.id, Rabu (16/9).
Di sisi lain, impor produk jadi tidak ada lagi hambatan tarif dan hambatan non tarif juga terbatas SNI dan Energy Label. Kemudian hal-hal tersebut merupakan faktor utama yang membuat pemegang merek lebih memilih impor barang jadi, terutama dari China.
Baca Juga: Selama pandemi, penjualan air purifier Sharp Electronics Indonesia naik 5 kali lipat
Daniel mengungkapkan, saat ini perusahaan elektronik yang memimpin pangsa pasar AC di Indonesia masih dikuasai merek-merek besar seperti Sharp, Panasonic, LG, Daikin, dan Samsung. Adapun untuk tiga terbesar dipimpin oleh Panasonic, LG, dan Polytron.
Adapun perusahaan lokal yang memiliki pabrik AC di Indonesia baru lima pemain saja, yakni Panasonic, LG, Polytron, Aux, dan Uchida.
Menurut Daniel, jika importasi AC terus terjadi tentu industri AC lokal akan terus tertekan oleh biaya produksi murah AC yang berasal dari Tiongkok.
Dihubungi terpisah, General Manager AC PT Panasonic Gobel Indonesia Diana Wijaya mengatakan saat ini Panasonic masih berada di posisi tiga besar dalam pangsa pasar AC di Indonesia. Adapun memasuki semester II 2020 atau di bulan Juli, penjualan AC Panasonic meningkat 25% dibanding awal masa pandemi yakni April hingga Juni 2020.
"Namun estimasi permintaan pasar masih menurun sekitar minus 8.1% dibandingkan tahun lalu," kata Diana.
Selain tertekan oleh pandemi virus corona, industri AC dalam negeri juga tertekan oleh aktivitas importasi AC. Diana mengatakan tentu saja bisnis AC Panasonic akan tertekan jika aktivitas importasi AC terus terjadi.
Sebagai langkah strategi untuk menghadapinya, Diana bilang Panasonic akan terus berinovasi untuk memenuhi kebutuhan konsumen. Salah satunya dengan teknologi Nanoe yang dapat menghambat virus dan bakteri hingga 99%.
Baca Juga: Pandemi corona melanda, penjualan AC Panasonic meningkat 10%
"Hal ini tentu sangat bermanfaat bagi konsumen di tengah pandemi seperti ini," kata Diana.
National Sales Senior General Manager Sharp Electronics Indonesia, Andri Adi Utomo produk AC Sharp memang masih 100% impor. Adapun kebijakan baru dari Kementerian Perdagangan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 68/2020 soal pembatasan impor sejumlah barang salah satunya elektronik tentu akan mengganggu aktivitas bisnis SEID.
"Impor AC dengan kuota yang disetujui tentu akan mengganggu bisnis SEID. Tanpa persetujuan, kuota impor tidak diizinkan. Adapun penjualan AC berkontribusi lebih dari 20% terhadap total penjualan. Kalau tidak bisa impor, maka ada potensi kehilangan 20% penjualan secara total," kata Andri.
Andri meminta pemerintah untuk secara bertahap memberikan fasilitas kuota impor AC sampai Sharp siap memproduksi AC di Indonesia. Andri bilang, rencana membangun pabrik AC di Indonesia sudah masuk dalam rencana jangka panjang SEID.
"Seharusnya tahun depan sudah mulai (membangun pabrik AC di Indonesia) tetapi karena Covid-19 jadi mundur hingga waktu yang belum ditentukan," kata Andri.
Andri bilang jikalau membangun pabrik, perlu waktu minimal satu tahun.
Salah satu alasan SEID memilih impor ketimbang produksi di dalam negeri karena kesiapan dari komponen penunjang di Indonesia. Menurut Andri, kalau sebagian besar komponen masih impor maka lebih kompetitif import barang jadi.
Selanjutnya: Pemerintah menerapkan sertifikasi bagi teknisi pendingin ruangan (AC).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News