Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memiliki konsep kawasan hutan dan deforestasi merupakan hal yang penting untuk menghadapi Uni Eropa soal tudingan deforestasi. Adanya konsep yang jelas soal kawasan hutan dapat mencegah munculnya multi tafsir terkait kerusakan lingkungan.
Guru Besar IPB bidang Kebijakan, Tata Kelola Kehutanan, dan Sumber Daya Alam (SDA) Budi Mulyanto mengatakan, para pemangku kepentingan perlu duduk bersama untuk membahas pemahaman kawasan hutan dan deforestasi.
Hal itu supaya ada aturan yang tegas dan tidak multitafsir agar tidak setiap ada kegiatan ekonomi yang bersentuhan langsung dengan hutan dicap sebagai deforestasi dan dipolitisir sebagai isu kerusakan lingkungan.
"Tidak adanya definisi kawasan hutan yang jelas selama bertahun-tahun telah melahirkan banyak persoalan seperti pernyataan provokatif, dangkal serta tidak mempertimbangkan berbagai perbaikan yang dilakukan Indonesia terhadap komoditas sawit,” ujarnya, Senin (20/5).
Menurutnya, tanpa definisi yang jelas, pernyataan provokatif, dangkal serta tidak mempertimbangkan berbagai perbaikan yang dilakukan Indonesia akan terus berulang.
“Isu tentang pasokan rantai sawit kotor dari perkebunan sawit yang melakukan deforestasi seharusnya sudah berakhir. Namun tidak adanya definisi yang jelas tentang kawasan hutan menjadikan isu itu tetap hangat sebagai topik utama kampanye antisawit,” terangnya.
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Prof Yanto Santosa menambahkan, lahan kebun sawit di Indonesia tidak berasal dari kawasan hutan. Hasil penelitian bersama timnya pada delapan kebun sawit milik perusahaan sawit besar (PSB) dan 16 kebun sawit rakyat di Riau menunjukkan lahan yang dijadikan kebun sawit tersebut sudah tidak berstatus sebagai kawasan hutan.
Saat izin usaha perkebunan sawit dan sertifikat hak guna usaha (HGU) diterbitkan, status lahan seluruh PSB sudah bukan merupakan kawasan hutan. Jika dilihat berdasarkan luasan seluruh areal PSB yang diamati sebanyak 46.372,38 hektare (ha), sebanyak 68,02% status lahan yang dialihfungsikan berasal dari hutan produksi konversi/areal penggunaan lain (APL), 30,01% berasal dari hutan produksi terbatas, dan 1,97% berasal dari hutan produksi.
Yanto memastikan, sebagian besar asal-usul perkebunan sawit di Indonesia punya catatan yang jelas. Prosedur kebijakan alih fungsi lahan juga diatur UU melalui beberapa mekanisme pelepasan kawasan atau perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRW-P).
Bahkan,dalam konteks menjaga lingkungan, Indonesia jauh lebih baik dibandingkan sebagian negara di Eropa yang langsung menambang gambut untuk dijadikan briket energi sebagai bahan biomass. Di Indonesia, rakyat menanam sawit di lahan gambut terdegradasi, yang hasilnya berupa minyak sawit dipergunakan sebagai bahan energi.”Ini jauh lebih ramah lingkungan. Karena itu, kita masih punya luasan gambut yang masih baik sekitar 11 juta ha,” kata Yanto.
Sebelumnya, Laksmi Dhewanti, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Industri dan Perdagangan Internasional mengatakan, usaha pemerintah Indonesia untuk melakukan perbaikan harus dilihat oleh UE.
“Uni Eropa bisa saja bertanya, mengapai Indonesia menebang hutan untuk kepala sawit? Pertanyaan sama, kenapa dulu mereka menebang hutan untuk menanam rapseed? Padahal kan sama. Semuanya daratan dulunya hutan. Jadi, kita tahu pasti ada dampaknya, ada negatifnya, tetapi itu juga harus dilihat secara berimbang,” kata Laksmi.
Laksmi mengatakan, guna mengurangi dampak yang ditimbulkan dari produksi sawit. Pemerintah sudah mengambil beberapa langkah dan menetapkan berbagai regulasi.“Indonesia dan negara-negara lain yang memproduksi sawit juga melakukan perbaikan. Indonesia menerapkan kriteria Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Mestinya, upaya Indonesia untuk mengurangi dampak lingkungan perlu dihargai,” kata dia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News