Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Pemerintah berniat untuk melakukan renegosiasi harga dengan China untuk harga jual gas alam cair (liquefied natural gas/LNG). Namun, hingga saat ini renegosiasi tersebut belum mencapai harga tinggi yang diinginkan oleh pemerintah. Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) mengatakan renegosiasi tersebut terhalang karena bentuk kontrak.
Kepala Divisi Humas, Sekuriti, dan Formalitas BP Migas Gde Pradnyana menuturkan, kontrak jual beli gas dengan China menetapkan batas atas dan batas bawah yang berdasarkan harga minyak. Saat itu, disepakati batas atasnya sebesar US$ 24 per barel dan batas bawahnya US$ 10/barel.
“Jadi harga LNG berfluktuasi antara kedua batas itu. Kalaupun harga minyak turun drastis, harga gas tidak bisa lebih rendah dari batas bawahnya,” jelas Gde.
Saat ini, harga jual LNG ke China berkisar pada US$ 3,34 per million British thermal unit (mmbtu). Harga jual ini jelas jauh lebih rendah ketimbang harga jual LNG ke Jepang yang bahkan mencapai US$ 16,5 per mmbtu. Gde menjelaskan, yang membuat bentuk dan klausul kontrak adalah China sebagai pembeli dan pelaksana tender. "Indonesia hanya menjual gas dan peserta tender sehingga ketika itu kondisinya pembeli yang menentukan harga," kata Gde.
Dia menjelaskan, bentuk kontrak LNG ke Jepang berbeda dengan kontrak ke China. Harga ekspor LNG ke Jepang dipatok mengikuti harga minyak tanpa ada batas atas dan batas bawah. “Jadi harga dilepas begitu saja. Bisa naik dan bisa turun. Sekarang bisa sampai US$ 16,5/ mmbtu karena harga minyak juga sedang bagus,” kata dia.
Gde mengharapkan dengan adanya renegoisasi ini, harga jual LNG ke China bisa tinggi. Namun, untuk bisa mendapat harga tinggi harus ada perubahan bentuk kontrak dengan China. Padahal pengusaha yang bergerak di jual beli minyak dan gas sangat menjunjung tinggi kesucian kontrak yang sudah disepakati bersama.
“Kalau kontrak diubah, mereka tentunya akan komplain dong. Kita sudah sepakat dengan kontrak itu kemudian minta batas atas dan bawah itu dihilangkan, mereka tidak maulah. Yang namanya contract sanctity itu sangat dihargai dalam bisnis,” jelas dia.
Kesempatan yang dimiliki Indonesia hanyalah menegosiasikan harga LNG dengan China setiap 4 tahun sekali. Terakhir kali negosiasi dengan China, Indonesia hanya bisa menaikkan harga dari US$ 2,4/ mmbtu menjadi US$ 3,34/ mmbtu. “Renegosiasi sudah menunjukkan keberhasilan. Kita berusaha saja agar mendapat harga tinggi,” katanya.
Sedangkan harga jual dengan Sempra, menurut dia, masih lebih baik dari China. Indonesia menjual ke Sempra dengan harga di atas US$ 5/ mmbtu. Harga di sana lebih baik karena mengikuti harga acuan gas di Amerika. “Tapi tidak lebih dari US$ 10/ mmbtu karena kan ongkos kirimnya jauh,”tambah Gde.
Sementara itu, mantan wakil Presiden RI, Jusuf Kalla meminta kepada pemerintah supaya bisa menaikkan harga LNG ke China khususnya harga jual LNG Tangguh. “Harusnya bisa US$ 6 lah. Memang tidak 100 persen bisa, tapi setidaknya jangan sampai US$ 3,5,” tandas Kalla singkat. Merujuk kepada data BP Migas, pada tahun lalu ekspor LNG Tangguh mencapai 79 kargo. Gas tersebut terbang ke beberapa negara seperti Korea 26 kargo, Taiwan 1 kargo, China 29 kargo dan Amerika Serikat sebanyak 23 kargo. Untuk tahun ini, jumlah ekspor LNG Tangguh mencapai 115 kargo. Negara-negara tujuan ekspor adalah Jepang 4 kargo, Korea 21 kargo, China 35 kargo dan Amerika Serikat sebanyak 55 kargo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News