Sumber: Reuters | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - China membiayai dan membangun industri nikel Indonesia, menjadikan negara ini produsen nikel terbesar di dunia hanya dalam satu dekade.
Namun kini China tampaknya mulai ragu akan kebutuhan akan nikel sebanyak itu. Produsen kendaraan listrik (EV) China mulai beralih dari baterai berbasis nikel.
Akibatnya, semakin banyak nikel yang ditambang Indonesia justru berakhir di gudang London Metal Exchange (LME), bukan di pabrik baterai EV.
Menurut Andy Home, kolumnis Reuters dalam tulisannya Senin (1/12/2025), persediaan nikel olahan global melonjak dari 54.000 ton metrik pada Januari 2023 menjadi 366.000 ton, setara sekitar 10% dari penggunaan global tahun lalu.
Kelebihan pasokan ini menahan gejolak harga nikel, yang sempat mencapai puncaknya saat perdagangan LME ditangguhkan pada 2022. Tahun ini, harga nikel sebagian besar bergerak di level terendah.
Baca Juga: Praktik ESG Meningkat, Antam Borong Gold Rank ASRRAT 2025
Pertumbuhan dan Risiko Nikel Indonesia
Sektor nikel Indonesia masih berkembang karena ambisi negara ini menjadi kekuatan EV global.
Namun ada risiko nyata bahwa Indonesia terlalu bergantung pada logam baterai yang pelanggan utamanya mulai menurunkan permintaan.
Pada 2020, Elon Musk sempat menyerukan, “Tolong tambang lebih banyak nikel,” karena khawatir pasokan tidak cukup untuk memenuhi permintaan baterai EV yang diprediksi melonjak.
Indonesia dan perusahaan-perusahaan China memenuhi kebutuhan ini, sehingga produksi nikel meningkat dari 780.000 ton pada 2020 menjadi 2,3 juta ton pada 2024. Pangsa Indonesia dalam pasokan global naik dari 30% menjadi 70%.
Baca Juga: Menilik Peluang dan Tantangan Bisnis Laundry
Gelombang investasi China pertama di nikel Indonesia fokus pada stainless steel, sektor pengguna nikel terbesar. Ketika Indonesia melarang ekspor bijih nikel mentah pada 2020, perdagangan bergeser ke nikel pig iron.
Gelombang kedua investasi China lebih fokus pada nikel sebagai logam baterai, dengan pemerintah Indonesia mendorong pembangunan kapasitas pengolahan hilir, menghasilkan berbagai produk seperti matte, mixed hydroxide, dan nikel olahan. Sebagian besar produk antara ini dikirim ke China untuk diolah menjadi nikel sulfat yang digunakan dalam baterai EV.
Baca Juga: Inalum Perkuat Sinergi dengan Pelanggan Lewat Aluminium Talk
Revolusi Baterai dan Pergeseran Permintaan
Masalah muncul ketika produsen EV China mulai menghindari nikel, beralih ke baterai berbasis lithium-iron-phosphate (LFP), yang lebih murah dan aman.
Perusahaan seperti CATL berhasil mengembangkan baterai LFP berdaya tinggi, termasuk model Shenxing Pro dengan jarak tempuh 758 km dan pengisian cepat.
Baterai LFP kini menguasai pasar domestik China dan mulai menembus pasar global.
Permintaan nikel untuk baterai masih naik karena pasar EV global berkembang cepat, tetapi penggunaan nikel per kendaraan baru hanya naik 1% dibandingkan 7% untuk lithium, menurut Adamas Intelligence.
Baca Juga: Deloitte Sebut Hasil Survei CEO Prospek Bisnis Tahun Depan Masih Menjanjikan
Dampak ke Pasar dan Inventaris
Perubahan kimia baterai ini membuat produsen China beralih dari nikel sulfat ke nikel olahan yang dijual ke pasar terakhir. Nikel Indonesia juga dikirim langsung ke gudang LME, tercatat 11.300 ton pada bulan lalu.
Persediaan tinggi menahan harga pada level biaya produksi sekitar $15.000 per ton, sementara harga LME tiga bulan sempat turun ke $14.330 per ton, terendah sejak April.
Taruhan Besar Indonesia
Pemerintah Indonesia menunjukkan tanda ingin memperlambat ekspansi sektor nikel, tetapi sebagian besar penambang dan pengolah masih dikuasai perusahaan China.
Macquarie Bank memperkirakan kapasitas pengolahan nikel bisa bertambah satu juta ton lagi pada 2030. Kelebihan produksi Indonesia bisa menyebabkan surplus global setidaknya lima tahun ke depan.
Baca Juga: Dorong Transisi Energi Hijau, PLN IP Luncurkan 7 Program Energi Terintegrasi
Menurut Andy Home, Indonesia berharap permintaan akan mengejar pasokan dan menyerap inventaris berlebih.
Namun ini merupakan taruhan besar, karena sektor nikel berbasis batu bara Indonesia menghadapi tekanan dari pembeli Barat yang lebih peduli lingkungan dan jejak karbon dibandingkan pembeli China.
Strategi nasionalisasi sumber daya nikel Indonesia menginspirasi banyak negara kaya mineral untuk mempertahankan nilai tambah lebih besar, tetapi kini Indonesia terjebak dalam “perangkap sumber daya” baru: ketergantungan pada China dan menurunnya minat mereka terhadap baterai nikel.
Selanjutnya: FIFA Umumkan Jadwal Lengkap Piala Dunia 2026 Sabtu Ini
Menarik Dibaca: Hunian Modern Kian Diminati, LIXIL Buka Experience Center di Bali
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













