kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.908.000   -6.000   -0,31%
  • USD/IDR 16.313   10,00   0,06%
  • IDX 7.192   51,54   0,72%
  • KOMPAS100 1.027   0,61   0,06%
  • LQ45 779   -0,14   -0,02%
  • ISSI 237   2,91   1,24%
  • IDX30 402   -0,27   -0,07%
  • IDXHIDIV20 464   1,04   0,22%
  • IDX80 116   0,22   0,19%
  • IDXV30 118   1,12   0,95%
  • IDXQ30 128   -0,16   -0,12%

Impor Nikel Filipina Berpotensi Melonjak, Ini Penyebabnya


Rabu, 16 Juli 2025 / 18:07 WIB
Impor Nikel Filipina Berpotensi Melonjak, Ini Penyebabnya
ILUSTRASI. Indonesia berpeluang meningkatkan impor bijih nikel dari Filipina tahun ini sebagai respons atas sejumlah tantangan dalam pasokan nikel domestik REUTERS/Evgenia Novozhenina


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia berpeluang meningkatkan impor bijih nikel dari Filipina tahun ini. Langkah ini ditempuh sebagai respons atas sejumlah tantangan dalam pasokan nikel domestik yang berdampak pada operasional smelter dalam negeri.

Dewan Penasihat Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Djoko Widajatno mengatakan, impor bijih nikel dari Filipina dilakukan untuk menjaga stabilitas pasokan bagi industri pengolahan di dalam negeri.

Menurut Djoko, saat ini produksi sejumlah tambang terganggu akibat tiga faktor utama, yakni keterlambatan persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), tingginya curah hujan, serta kesenjangan antara kebutuhan dan persetujuan RKAB.

Baca Juga: PT Gag Nikel Masih Belum Beroperasi, Ini Penjelasan Kementerian ESDM

"Total kebutuhan bijih nikel dalam negeri mencapai sekitar 300 juta ton, sementara RKAB yang telah disetujui baru 270 juta ton," kata Djoko kepada Kontan, Rabu (16/7).

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah mengungkapkan, kabar ini beredar setelah adanya klaim dari perusahaan tambang Filipina, DMCI Holdings Inc. Kendati demikian, ia menilai volume impor tak akan sebesar yang diberitakan.

"Beberapa smelter di Indonesia memang menghadapi kesulitan pasokan, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas bijih nikel, seperti kadar silica dan magnesium," ujar Arif kepada Kontan, Rabu (16/7).

Meski demikian, data produksi bijih nikel dalam negeri sebenarnya menunjukkan tren yang cukup positif. Sepanjang kuartal I-2025, produksi bijih nikel tercatat mencapai 56,7 juta ton atau 29,83% dari total rencana produksi tahun ini. Produksi tersebut tumbuh signifikan sebesar 254% dibanding periode yang sama tahun lalu.

"Produksi bijih nikel nasional sampai Mei 2025 telah mencapai 105,65 juta ton. Jika tren ini berlanjut, target produksi 190 juta ton pada 2025 bahkan berpotensi terlampaui," kata Arif.

Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) Sudirman Widhy menilai, impor bijih nikel dari Filipina seharusnya tidak menjadi polemik. Ia melihat hal ini sebagai indikasi keberhasilan hilirisasi di Indonesia.

Baca Juga: China Kenakan BMAD Stainless Steel dari Indonesia, Harga Bijih Nikel Bisa Terkoreksi

"Faktanya, Indonesia telah mampu mengolah bijih nikel menjadi produk bernilai tambah. Sementara Filipina masih mengekspor bijih mentah," ujarnya kepada Kontan, Rabu (16/7).

Sudirman juga menambahkan, impor bijih nikel justru bisa memperkuat ketahanan cadangan dalam negeri. Pasalnya, pasokan bahan baku tidak sepenuhnya tergantung pada produksi domestik.

Namun, ia mengingatkan bahwa persepsi pasar terhadap stabilitas pasokan tetap penting.

"Jika pasokan domestik dianggap tidak stabil, investor bisa ragu untuk masuk ke sektor hilirisasi," katanya.

Data Kementerian ESDM mencatat, sumber daya bijih nikel Indonesia mencapai 18,55 miliar ton, dengan cadangan sekitar 5,32 miliar ton. Di sisi lain, APNI mencatat saat ini ada 147 proyek smelter nikel di Indonesia, terdiri dari 120 proyek pirometalurgi (RKEF) dan 27 proyek hidrometalurgi (HPAL), dengan total kebutuhan bijih nikel mencapai 735,2 juta ton.

Baca Juga: Ekspansi Ke Bisnis Nikel, Indo Tambangraya (ITMG) Borong Saham NICE

Adapun RKAB nikel 2025 yang telah disetujui mencapai 364 juta ton, naik dari 319 juta ton pada 2024. Sejumlah smelter diketahui mengurangi produksi akibat tekanan harga nikel global yang terus melemah sejak awal tahun. Turunnya permintaan global serta ketidakpastian geopolitik menjadi pemicu utama koreksi harga, yang berdampak pada margin industri pengolahan.

"Beberapa smelter mengurangi produksi untuk menyeimbangkan suplai dan permintaan global, sehingga harga nikel bisa kembali pada level keekonomian," pungkas Sudirman.

Selanjutnya: Perbankan Konsisten Catat Pertumbuhan Kinerja pada Kantor Cabang Luar Negeri

Menarik Dibaca: Tayang September, Official Teaser Trailer Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah Dirilis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×