Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Markus Sumartomjon
JAKARTA. Ketidakjelasan klasifikasi limbah di Indonesia membuat industri baja tanah air tidak bisa bergerak secara leluasa.
Direktur Eksekutif Indonesian Iron and Steel Industry Assosiation (IISIA) Edward Pinem meminta pemerintah melibatkan kalangan industri yang tengah menyusun revisi beleid soal. "Sektor industri baja bisa berperan sebagai penopang pertumbuhan industri non migas," katanya, kepada KONTAN.
Asal tahu saja, industri baja adalah industri yang terpukul dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 18/1999 soal pengolahan bahan berbahaya dan beracun (B3). Adanya aturan tersebut membuat impor besi bekas (scrap) masih tertahan di pelabuhan hingga kini.
Edward mengklaim, lantaran belum adanya standarisasi yang jelas soal limbah, membuat banyak produk sisa dari industri, termasuk baja diklaim sebagai limbah. "Kami ingin produk sisa produksi dari industri baja jangan dulu dicap sebagai limbah. Lebih baik diuji dulu," katanya.
Wakil Ketua Kadin Bidang Perdagangan, Logistik, dan Distribusi Natsir Mansyur mendukung langkah yang bakal diambil kalangan industri tersebut. Malah kalau sudah ada standardisasi limbah, industri bisa memanfaatkan produk sisa dari proses produksi. Misalnya produk sisaan berupa asam sulfat bisa dijual ke industri pupuk.
Pemerintah saat ini sedang menyusun revisi peraturan pemerintah soal limbah untuk menggantikan beleid pengolahan limbah. Namun tim penyusun yang dibentuk hanya berisikan elemen pemerintah dan kurang memfasilitasi kebutuhan industri.
Menteri Perindustrian MS Hidayat mengakui aturan limbah di Indonesia berbeda dengan negara lain. Misalnya, dinegara lain masih mentoleransi limbah yang ada di scrap sebesar 2%-3% dari total volume scrap. Di Indonesia, kondisi scrap harus terbebas dari limbah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News