Reporter: Benediktus Krisna Yogatama | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
CILEGON. Produsen baja nasional mengaku kewalahan menghadapi gempuran besi dan baja impor. Agar bisa bersaing, asosiasi baja yang tergabung dengan Indonesia Iron and Steel Industry Associations (IISIA) minta pemerintah menaikkan bea masuk impor besi dan baja.
Mengacu data IISIA, tahun 2013 lalu, kebutuhan besi dan baja dalam negeri mencapai 14,3 juta ton. Namun, dari total pasar itu, sebanyak 8,4 juta ton dikuasai produk impor. Produsen baja dalam negeri hanya mengecap sisanya sebesar 5,9 juta ton.
Irvan Kamal Hakim, Chairman IISIA bilang, kapasitas produksi baja Indonesia saat ini mencapai 6 juta -7 juta ton per tahun. Itu artinya, ada potensi kelebihan produksi besi dan baja yang tak terpakai. Jika impor baja terus membengkak, Irvan khawatir baja yang diproduksi di dalam negeri tak bisa mendapatkan pasar. "Dengan kenaikan bea masuk, kami berharap bisa melindungi industri besi dan baja dalam negeri," terang Irvan di Cilegon, Selasa (7/10).
Saat ini, bea masuk impor besi baja tercatat 5%, kecuali bea masuk impor baja dari China yang ditetapkan nol persen karena kerjasama perdagangan ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Irvan berharap, Indonesia menyamakan bea masuk impor baja dengan bea masuk baja negara tetangga seperti Malaysia 25%. "Tingginya bea masuk baja Malaysia membuat industri hulu bajanya merasa dilindungi," kata Irvan.
Industri baja Malaysia memilikikapasitas produksi 3 juta ton, dan seluruh produksi terserap di pasar Malaysia. Irvan yang juga Direktur Utama PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) ini menyebut, dengan bea masuk tinggi, industri baja dalam negeri bisa bangkit dan menambah kapasitas produksi. Jika tidak, kelebihan produksi baja dari negara lain terutama dari China akan mudah masuk ke Indonesia. Dalam hitungan Irvan, jika pertumbuhan ekonomi China turun 1%, konsumsi baja dalam negeri China turun 24 juta ton. Sisa baja inilah yang dikhawatirkan masuk ke Indonesia dan negara lainnya. "Kondisi ini juga menurunkan harga baja dunia," kata Irvan.
Tekanan rupiah
Selain terdesak produk baja impor, industri baja nasional terdesak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Irvan bilang, pelemahan rupiah membuat beban produksi industri baja membengkak. Jika dibiarkan berlarut, daya saing industri baja nasional bisa kalah bersaing dengan industri baja dari negara lain.
Dampak pelemahan rupiah ini dirasakan oleh produsen baja dari PT Gunawan Dianjaya Steel Tbk (GDST). Agar tak merugi, perseroan telah menaikkan harga jual baja dari Rp 8.000 per kg, menjadi Rp 8.100 per kg.
"Kenaikan tidak bisa banyak. Kalau banyak permintaan akan drop," kata Hadi Sutjipto, Director and Corporate Secretary GDST. Hadi menjelaskan, jika GDST mempertahankan harga lama, maka perusahaan akan menanggung rugi. Jika perusahaan menaikkan harga baja terlalu tinggi, maka perusahaan akan kalah bersaing dengan produk impor.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News