Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bisnis industri elektronik dan petrokimia tertekan akibat pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS yang sempat tembus Rp 15.000 per dolar AS. Pasalnya, masih banyak kebutuhan bahan baku dari kedua industri ini yang dipasok dari luar negeri.
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Perusahaan Pendingan Refrigerasi Indonesia (Perprindo) Andy Arif Widajaja mengatakan, dampak pelemahan kurs rupiah terhadap dolar AS berpengaruh ke pelaku usaha karena masih sebagian bahan baku penolong industri pendingin refrigerasi diimpor.
Bahan baku penolong yang diimpor tersebut berkontribusi 40%-60% pada kebutuhan produksi sejumlah produk yang menggunakan kompresor seperti refrigerator, AC, water dispenser, showcase, hingga chest freezer.
Asal tahu saja, komponen kompresor saat ini masih bergantung pada impor karena tidak tersedinya bahan baku ini di Indonesia.
“Strategi yang dilakuan pengusaha tergantung dari kebijakan masing-masing. Ada yang menggunakan hedging ada juga yang melakukan perencanaan pembelian bahan baku lebih efektif agar terhindar dari fluktuasi kurs, dan faktor lainnya,” kata Andy kepada Kontan.co.id, Senin (25/7).
Baca Juga: Industri Elektronik Tertekan Pelemahan Nilai Tukar Rupiah dan Masalah Lainnya
Andy menyebutkan, meskipun pelaku usaha sudah menjalankan sejumlah strategi tersebut, penyesuaian harga pada produk-produk elektronik tidak bisa dihindarkan.
Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) Daniel Suhardiman menambahkan, seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar, harga bahan baku produk elektronik sudah naik. Saat ini para pelaku pasar masih menghitung dampak ke kenaikan harga jual.
Sebelumnya, akibat kenaikan biaya pengapalan (freight rate) saja membuat harga elektronik secara umum naik sekitar 2%-5%.
“Dampak kemungkinan akan dirasakan apabila rupiah dalam waktu dekat masih melemah, para pelaku pasar terpaksa menaikkan harga jual. Bagi industri dalam negeri, ini sangat sulit,” jelasnya.
Selain pelemahan kurs rupiah, industri elektronik juga masih merasakan kendala kelangkaan peti kemas dan biaya kapal yang belum kembali ke kondisi pra-krisis.
Kendati demikian, Daniel mengatakan, suplai bahan baku masih cukup normal. Namun, untuk chip masih terkendala dan perlu booking pembelian lebih panjang dari kondisi normal. Secara umum, kondisi stok bahan baku masih relatif aman meskipun perlu follow up ketat terkait jadwal pengiriman.
Setali tiga uang, industri hulu petrokimia juga merasakan dampak pelemahan rupiah terhadap dolar.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin Aromatik Plastik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menuturkan, industri hulu petrokimia saat ini merasakan berbagai tantangan.
“Saat ini tren permintaan di hilir sedang melandai, alhasil permintaan produk petrokimia juga mengalami penurunan. Di sisi lain mengikuti kenaikan harga minyak dunia, harga nafta juga ikut menanjak. Ada pula sentimen dari pelemahan kurs rupiah terhadap dolar yang menambah tantangan bagi industri hulu petrokimia,” terangnya saat dihubungi terpisah.
Dengan adanya ketiga tantangan tersebut. Fajar mengatakan, kelihatannya pengusaha cenderung mengurangi produksinya. Sebab semakin banyak produksi, bisa membuat pengusaha merugi.
Di sisi hilir, Fajar mengatakan, pelemahan kurs rupiah saat ini tidak terlalu berdampak lantaran permintaan juga sedang menurun. Maka itu, persediaan bahan baku di industri plastik sejauh ini masih baik-baik saja.
Baca Juga: Ini Dampak Pelemahan Kurs Rupiah Terhadap Dolar AS Bagi Industri Petrokimia Tanah Air
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News