Reporter: Leni Wandira | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana penghentian impor garam mulai tahun depan kembali memantik kekhawatiran pelaku industri kesehatan.
Industri farmasi menjadi salah satu sektor yang paling rentan terdampak, mengingat kebutuhan garam berkualitas farmasi mencapai sekitar 5.200 ton per tahun—seluruhnya masih dipenuhi oleh impor.
Direktur Eksekutif GP Farmasi Indonesia, Elfiano Rizaldi, menegaskan bahwa garam pharmaceutical grade merupakan bahan baku kritis untuk produksi berbagai obat cair steril, terutama produk infus seperti NaCl 0,9% dalam berbagai ukuran serta Ringer Laktat.
"Saat ini, kapasitas produsen garam farmasi lokal baru mencapai 120–360 ton per tahun, jauh dari kebutuhan industri," ujarnya kepada Kontan, Minggu (16/11/2025).
Selain satu produsen yang telah beroperasi, tiga produsen lokal lainnya masih berada pada tahap pengujian stabilitas dan proses registrasi, sehingga belum dapat digunakan untuk produksi obat. Proses validasi, uji stabilitas, hingga registrasi diperkirakan memakan waktu 7–8 bulan sebelum bahan dapat masuk ke lini produksi.
Baca Juga: Bertemu Menteri Ekonomi Meksiko, Mendag Lirik Potensi Impor Garam
Elfiano menjelaskan bahwa keterbatasan ini dapat berdampak langsung pada kontinuitas pasokan obat di pasar. Industri tidak dapat sembarangan beralih ke sumber baru, sebab bahan baku wajib memenuhi standar Farmakope Indonesia edisi VI dan terdaftar di BPOM.
"Setiap perubahan pemasok juga mewajibkan perusahaan melakukan pengembangan ulang produk, validasi proses, dan pengujian stabilitas sesuai ukuran produksi masing-masing," jelasnya.
Di sisi lain, kualitas bahan baku garam lokal juga masih menjadi tantangan. Kandungan air, tingkat kemurnian NaCl, serta keberadaan pengotor dinilai belum optimal, sehingga berdampak pada yield produksi, proses pengolahan, hingga biaya. Harga garam farmasi lokal bahkan disebut mencapai 2–4 kali lebih mahal dibandingkan bahan impor.
Baca Juga: Petani Garam Sebut Pemerintah Minim Progres untuk Merealisasikan Swasembada Garam
"Sehingga selain kualitas produk akhir yang berdampak, juga harga produknya yang 2 sampai 4 kali lebih mahal dari bahan baku garam farmasi impor," ungkapnya.
Dengan kapasitas pasokan lokal yang masih jauh dari memadai dan risiko lonjakan biaya bahan baku, industri farmasi memperkirakan potensi kenaikan harga obat pada 2025, terutama untuk produk yang menggunakan garam farmasi lokal.
Menurut Elfiano, penyesuaian harga seharusnya diperhitungkan secara bertahap agar industri tetap mampu menjaga kelangsungan produksi di tengah perubahan kebijakan.
Industri kini menunggu keputusan akhir pemerintah terkait implementasi penghentian impor garam. Pelaku usaha berharap ada masa transisi yang realistis agar produsen lokal dapat mengejar standar kualitas dan kapasitas sebelum pasokan impor benar-benar ditutup.
Baca Juga: KKP Targetkan Pembangunan Sentra Produksi Garam di NTT Serap 26.000 Tenaga Kerja
Selanjutnya: Revisi Perpres EBT: Pemerintah Buka Peluang PLTU Batubara Baru?
Menarik Dibaca: Apakah Timun Bisa Menurunkan Kolesterol Tinggi atau Tidak? Ini Jawabannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













