Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri keramik di bawah Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) mengakui sudah memanfaatkan dengan maksimal penurunan harga gas industri US$ 6 mmbtu. Bahkan secara umum, industri keramik sudah menyerap sesuai dengan ekspektasi dari pemerintah.
Ketua Umum Asaki, Edy Suyanto memaparkan secara data, utilisasi pabrik keramik secara nasional terus meningkat dari tahun ke tahun, bahkan pada kuartal I 2021 (menurut data dari anggota Asaki saat ini) utilisasi sudah mencapai 75% atau tertinggi sejak 2015. Hal ini tentu bisa menjadi cerminan seberapa tinggi penyerapan gas ke industri keramik karena biaya gas berkontribusi 30%-35% ke biaya produksi.
Berdasarkan data yang disampaikan ASAKI, utilisasi industri keramik nasional pada tahun 2015 sampai 2018 stagnan di level 60%. Kemudian di 2019 utilisasi tumbuh menjadi 65%. Adapun pada 2020 karena adanya pandemi Covid-19, utilisasi keramik nasional sempat turun hingga 30% di kuartal II 2020 saat pembatasan ketat dilaksanakan. Namun, pada kuartal IV 2020 utilisasi kembali naik ke level 68% bahkan melewati rata-rata utilisasi di 2019. Memasuki tahun 2021, di kuartal I 2021, utilisasi menanjak ke level 75%.
Baca Juga: Menilik dampak kenaikan harga komoditas energi terhadap penerimaan negara
"Artinya, tingkat utilisasi yang terus meningkat ini mencerminkan penyerapan gas secara maksimal. Untuk Asaki kami sudah on track. Buktinya, di tengah pandemi Covid-19 kami membuktikan komitmen untuk memanfaatkan stimulus tersebut sehingga penyerapan gas dan kinerja produksi menjadi lebih baik dari sebelum adanya stimulus dijalankan," jelasnya kepada Kontan.co.id, Kamis (25/3).
Edy menjelaskan lebih lanjut, bukti lainnya manfaat dari stimulus ini adalah ekspor keramik di 2020 mencatatkan kinerja terbaik sejak tahun 2015. Di tahun lalu ekspor keramik tumbuh 30% yoy atau mencapai 16,7 juta meter persegi.
Namun sayang, di tengah manfaat yang melimpah ini, masih ada kendala dan belum semua pelaku industri keramik mendapatkan harga gas yang setara. Hal ini terjadi pada pelaku industri keramik di Jawa Timur. Edy menjelaskan sudah hampir setahun sejak implementasi Kepmen ESDM No 89K/2020, industri keramik baru mendapatkan harga gas US$ 6/mmbtu sebesar 66% dari kontrak gas sesuai Kepmen.
Artinya, 34% Industri masih dikenai harga gas lama yakni U$ 7,98/mmbtu. Adapun jika dirata-rata biaya gas industri di Jawa Timur sebesar US$ 6,5/mmbtu. Sedangkan, harga gas di Jawa Barat sudah US$ 6/mmbtu.
Menurut Edy, masalah ini terjadi karena ada sebagian produsen gas hulu di Jawa Timur yang belum siap memberikan harga gas US$ 6/mmbtu sehingga PGN sebagai supplier terpaksa membebankannya ke industri. Adapun hal ini sudah berjalan cukup lama sehingga Asaki meminta pemerintah untuk mengevaluasi kembali.
"Hal ini tentunya sangat membebani industri keramik di Jatim apalagi di tengah gencarnya impor produk keramik dari China, India dan Vietnam," kata Edy.
Di luar dari harga gas yang belum merata, pelaku industri keramik di Jawa Timur juga mendapat masalah lain yakni gangguan pasokan gas sejak beberapa bulan terakhir. Jadi industri hanya diperbolehkan menggunakan 75% dari total kontrak Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) PGN.
"Hal ini memaksa industri keramik yang produksi penuh atau memakai lebih, otomatis harus membayar 25% pemakaian gas tersebut dengan harga surcharge $15/mmbtu. Sudah jatuh tertimpa tangga nasib industri keramik di Jatim," ungkap Edy.
Tentu masalah ini membuat industri keramik di Jawa Timur tidak berdaya saing dengan sesama industri lokal, di Jawa Barat. "Jangankan sama India dan China, industri keramik di Jawa Timur sudah kehilangan daya saing di lokal karena perbedaan harga gas karena kontribusi gas ke biaya produksi 30%-35%," jelasnya.
Padahal saat ini, industri keramik Indonesia masih harus menghadapi tantangan besar berupa importasi keramik dari India yang naik 19% yoy di 2020. Edy menjelaskan importasi ini terjadi karena sejak April 2020 harga gas industri di Indonesia turun menjadi US$ 2,5/mmbtu karena mengikuti harga gas internasional.
"Sesungguhnya harga gas US$ 6/mmbtu sudah cukup membantu, tetapi masih relatif tinggi jika dibandingkan dengan harga internasional seperti di India. Maka tidak heran jika impor dari India naik 19% di tahun lalu," kata Edy.
Maka dari itu, Asaki beberapa kali bertemu dengan Kementerian Perindustrian untuk penguatan industri keramik dalam negeri dan meningkatkan tata niaga impor produk keramik.
Selanjutnya: Ini penyebab pemerintah bakal eveluasi insentif gas US$ 6 per MMBTU untuk industri
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News