Reporter: Dimas Andi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia (Akida) mengaku masih menemui sejumlah kendala selama kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) diberlakukan.
Sebagaimana yang diketahui, para pelaku industri kimia turut menerima HGBT dari pemerintah. Harga gas yang diterima industri kimia mengalami penyesuaian sejak 19 Mei 2023 berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No 91.K/MG/01/MEM.M/2023 tentang Pengguna Gas Bumi Tertentu dan Harga Gas Bumi Tertentu di Bidang Industri.
Ketua Umum Asosiasi Kimia Dasar Anorganik Indonesia (Akida) Halim Chandra mengatakan, kenaikan harga gas dari US$ 6 per MMBTU menjadi US$ 6,5 per MMBTU tentu akan menjadi beban tambahan bagi industri kimia dasar dalam menghadapi tantangan serbuan produk kimia impor. Namun, kenaikan tersebut masih bisa diterima sekalipun akan berdampak pada produktivitas dan kinerja industri kimia dasar nasional.
Terlepas dari itu, Akida mencatat masih banyak kendala yang ditemui para pengusaha kimia selama kebijakan HGBT berlangsung. Salah satunya adalah alokasi gas industri tertentu (AGIT) yang seringkali tidak terpenuhi sesuai alokasi Kepmen ESDM. Alhasil, para pelaku industri terpaksa membayar volume kekurangan gas tersebut dengan harga normal yang jauh lebih mahal.
Baca Juga: Kemenperin Beberkan Cuan di Balik Hilirisasi Industri Kelapa Sawit
Sebagai contoh pada 2022 lalu, dari alokasi gas yang ditetapkan, realisasi penyaluran gas HGBT di Jawa Timur hanya berkisar 60%--70% sedangkan di Jawa Barat sekitar 85%.
“Keadaan kini agak membaik tetapi tetap belum sesuai dengan alokasi Kepmen ESDM,” ujar Halim, Senin (14/8).
Halim menambahkan, terdapat pula aturan yang menetapkan apabila pemakaian gas melampaui batas maksimum Perjanjian Jual Beli Gas, maka konsumen yang dalam hal ini adalah pelaku industri kimia dasar malah dikenakan penalti mencapai 250% dari HGBT atau sekitar US$ 15 per MMBTU.
Selain itu, isu terbesar bagi Akida saat ini adalah kenaikan harga di luar HGBT yang mana masih banyak perusahaan kimia dasar yang belum menerimanya. Akida merasa kenaikan harga gas normal tidak merata.
Halim mengungkapkan, untuk pengguna gas dengan jumlah menengah (kategori Silver) dikenakan kenaikan harga dari US$ 9,78 per MMBTU menjadi US$ 11,99 per MMBTU. Pengguna gas dengan jumlah relatif kecil (Bronze 3) juga mengalami kenaikan harga dari US$ 9,16 per MMBTU menjadi US$ 12,31 per MMBTU. Untuk pengguna gas yang jumlahnya lebih kecil lagi (Bronze 2) turut dikenakan kenaikan dari US$ 9,20 per MMBTU menjadi US$ 12,52 per MMBTU.
“Ini tentunya sangat memberatkan anggota Akida yang kebanyakan termasuk dalam kelompok Bronze,” imbuh Halim.
Padahal, produk kimia dasar anggota Akida merupakan bahan baku bagi industri hilir seperti makanan-minuman, obat-obatan, dan lain-lain. Dengan begitu, kenaikan harga gas tersebut akan menyebabkan kenaikan biaya pada produk turunan yang mengandalkan bahan baku kimia dasar.
Baca Juga: Kemenperin: Drone Produksi Industri Lokal Diminati Pasar Global
Lantas, berkaca pada kondisi ekonomi dan penyerapan pasar atas hasil produksi, Akida berharap pemerintah membatalkan atau paling tidak menunda kebijakan kenaikan harga gas, terutama untuk harga normal, sampai kondisi kembali stabil.
Akida juga berharap pemerintah dapat melibatkan para pelaku usaha melalui asosiasi-asosiasi sebagai pengguna dan penyalur gas sebelum membuat keputusan terkait perubahan harga gas.
“Dengan demikian, kalaupun ada kenaikan, semua pihak dapat memahami alasan dan pelaku industri diberi kesempatan menyuarakan kesulitan yang dihadapi,” pungkas Halim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News