Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Wahyu T.Rahmawati
JAKARTA. Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) mencatat penjualan mainan menurun pada Semester I-2017. Salah satu penyebabnya lambatnya penjualan karena daya beli lesu plus ada kebijakan baru yang menghambat penjualan.
Sutjiadi Lukas, Ketua Asosiasi Mainan Indonesia mengatakan dalam Semester 1-2017 daya beli masyarakat menurun sehingga pembelian mainan anak lesu hingga 10%. "Biasanya lebaran baik tapi tidak terjadi. Semester kedua nanti kami perkirakan juga turun lagi karena aturan pemerintah yang makin banyak," kata Sutjiadi, Kamis (27/7).
Sementara kebijakan yang dianggap menghambat adalah penerapan Sertifikat Nasional Indonesia (SNI). Pelaku usaha mengaku sejatinya mendukung aturan ini, tapi mereka berpendapat perlu ada penyelarasan kebijakan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Misalnya mainan drone umumnya diberi sertifikasi oleh Kemperin. Tapi, karena memakai frekuensi harus ada pengujian Kemkominfo.
Yang jadi masalah biaya pengujian yang dianggap mahal yakni rata-rata Rp 11 juta per produk. Sementara untuk uji frekuensi drone mainan di Kemkominfo juga harus membayar Rp 11 juta untuk sekali uji produk dengan masa edar dalam waktu tiga tahun. "Kami berharap pengujian jadi satu saja," lanjutnya.
Sutjiadi bilang, sebelum ada kebijakan SNI, pemesanan produk impor mencapai 2.500 kontainer per bulan. Tapi setelah kebijakan itu keluar pesanan mainan impor hanya 1.000-1.200 kontainer per bulan. Sementara untuk nilai dari 1 kontainer mainan impor berkisar Rp 500 juta.
Sisi positifnya kebijakan SNI membuat produsen mainan lokal berkembang. "Kami harapkan ada investasi masuk," ujarnya.
Sekjen Asosiasi Importir Mainan Indonesia (AIMI), Taufik Mampuk membenarkan adanya kelesuan penjualan. "Ditambah dengan kontrol pemerintah yang super ketat. Bila label tak ada, langsung disita membuat pedagang takut," katanya ke pada KONTAN, akhir pekan lalu.
Menurut Taufik saat ini importir porsinya mencapai 55% dari total omzet produk mainan. Ia menyarankan agar pemerintah memberikan pengarahan kepada pedagang mainan tersebut. Sebab jika ada kebijakan langsung disita oleh petugas Bea Cukai maka bisnis tidak berjalan.
Selain masalah SNI, pebisnis juga mengeluhkan kebijakan Kementerian Keuangan soal penindakan terhadap Very High Risk Importer (VHRI) terhadap importir ilegal. Sutjiadi memperkirakan dengan penegakan aturan ini membuat harga jual produk mainan impor naik sekitar 30% pada bulan depan. Sebab importir resmi juga kena dampak kenaikan ongkos sekitar 30%. Akibatnya ia memperkirakan penjualan pada semester II-2017 makin lesu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News