Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku usaha pabrikan modul surya menyatakan komitmen investasi perusahaan manufaktur komponen PLTS untuk proyek ekspor listrik ke Singapura tidak serta-merta dapat menggairahkan industri di Tanah Air. Pasalnya, masih banyak aral-melintang yang menghambat investasi di Indonesia. Maka itu pemerintah sebaiknya mengutamakan perbaikan perizinan dan pasar PLTS di dalam negeri terlebih dahulu.
Ketua Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (Apamsi), Linus Andor Maulana menjelaskan, perihal rencana ekspor listrik ke SIngapura ini berawal dari kebutuhan Negeri Singa yang ingin mengaliri industrinya dengan listrik hijau. Keinginan ini sejalan dengan arah dunia yang hanya menerima produk yang diproduksi dengan listrik bersih.
Kebutuhan ini kemudian dikembangkan pemerintah Indonesia agar Singapura membangun lini produksi PLTS sebelum ekspor listrik. Tujuannya agar memberikan nilai tambah bagi Indonesia.
Baca Juga: Menko Marves Tarik Investor PLTS Singapura dan China ke Indonesia
Namun, kata Linus, komitmen pembangunan investasi komponen PLTS di Indonesia sebenarnya cerita lama yang hingga saat ini belum menjadi kenyataan. Hal ini disebabkan kondisi pasar di dalam negeri tidak sepenuhnya mendukung.
Menurutnya jika sudah masuk ke ranah investasi, seluruh aspek keekonomian dan kepastian pasar harus terbukti menunjang bisnis perusahaan tersebut.
Dia menerangkan, saat berinvestasi sumber pendanaan yang digunakan oleh perusahaan rata-rata 20% ekuitas internal dan 80% dari pinjaman dari perbankan maupun sumber lainnya. Nah untuk mendapatkan pendanaan ini tidak mudah karena perusahaan harus meyakinkan pemberi pinjaman mengenai kepastian jalannya usaha.
“Sebenarnya banyak orang mau investasi tetapi mereka (investor) selalu bertanya tentang kejelasan pasar si Indonesia. Sebab pendanaan proyek untuk investasi kan rigid sekali. Financing butuh feasibilty studies (FS) yang akan ditanyakan perihal prospek pasar bagaimana, return kapan, kalau itu tidak clear tidak akan dapat pinjaman,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Selasa (8/8).
Lantas, jika pendanaan macet, otomatis proyek tentu tidak bisa berjalan.
Sedangkan sebuah proyek modul surya, lanjut Linus, masuk dalam kategori layak (feasible) jika produksinya minimal 300 Megawatt (MW) per tahun, kemudian jika masuk pada ingot butuh 2 GW per tahun.
“Apa iya pabrik yang dibuat dan diinginkan pemerintah untuk ekspor ke Singapura akan produksi 300 MW, ada captive-nya?” ujar dia.
Menurutnya, perkara yang sebaiknya dilakukan Pemerintah terlebih dahulu ialah memperbaiki pasar dalam negeri dan memastikan penyerapan komponen PLTS dari industri lokal melalui dukungan regulasi. Jika berkaca pada negara lain, strategi ini berhasil dijalankan Turki dalam membangun industri panel surya di negaranya.
Baca Juga: Pemerintah Kaji Revisi RUPTL untuk Tarik Investor Garap Pembangkit EBT
Dengan kepastian itu, dia bilang, tanpa harus mengundang, investor akan otomatis masuk ke Indonesia.
Sedikit kilas balik, Linus menceritakan, ketika Amerika melarang (banned) industri sel surya China, sebanyak 26 pabrik China memilih hengkang dan berinvestasi di negara lain. Namun dari 26 perusahaan itu tidak ada yang tertarik ke Indonesia, mereka justru beralih ke Filipina, Malaysia, dan Thailand.
“Satupun tidak ada yang ke Indonesia karena memang berinvestasi di Indonesia tidak nyaman, investor belum apa-apa, baru mau bikin izin sudah masalah dengan LSM (lembaga swadaya masyarakat). Bagi investor Indonesia itu high cost economy,” terangnya.
Adapun untuk menyelesaikan persoalan ini, yakni kepastian dan kemudahan membuka usaha, tidak bisa hanya diselesaikan dalam waktu setahun dua tahun. Menurut Linus, perlu waktu yang lebih lama untuk membenahi ini semua.
Jadi, untuk meningkatkan gairah industri komponen PLTS di dalam negeri, dibutuhkan pembenahan ke dalam terlebih dahulu baru kemudian investasi akan datang jika pasarnya sudah mendukung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News