Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri perkebunan kelapa sawit membutuhkan biaya Rp 59 triliun untuk menjalankan kebijakan bebas kendaraan dengan muatan berlebih (over dimension and overloading/ODOL) pada 2023. Perinciannya, Rp 10 triliun untuk peremajaan armada lama sebanyak 14.628 unit dan pengadaan truk baru sebanyak 70.837 unit senilai Rp 49 triliun.
Kebijakan ODOL juga membuat biaya angkut logistik di industri perkebunan melonjak dua kali lipat menjadi Rp 32 triliun per tahun. Meski penuh tantangan dan butuh banyak biaya, Gabungan Pengusaha Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) tetap melakukan persiapan menuju bebas truk ODOL dengan beragam strategi.
Pengurus Gapki, Agung Wibowo, menegaskan, aturan ODOL berdampak terhadap sektor usaha, salah satunya sektor perkebunan kelapa sawit.
“Kami di industri sawit tentu saja akan mengikuti kebijakan ODOL ini. Namun, kami berharap kebijakan ini tidak menggerus daya saing industri sawit,” kata Agung dalam webinar bertajuk Kesiapan Perkebunan Menyiapkan Langkah-Langkah Strategis untuk Mewujudkan Program Bebas Truk ODOL yang diselenggarakan Forum Jurnalis Sawit (FJS), Kamis (8/4/2021).
Baca Juga: Industri kelapa sawit menyerap 16 juta tenaga kerja di Indonesia
Agung memaparkan, perkebunan kelapa sawit tersebar di 22 provinsi. Dari jumlah itu, 13 provinsi merupakan sentra produsen sawit, seperti Sumatra dan Kalimantan. Selama periode 2019-2020, terdapat beragam hambatan yang menyangkut isu angkutan (logistik). Contohnya, hambatan penerbitan dan perpanjangan Keur (truk kebun & jalan raya). Hambatan ini terutama berdampak di 13 provinsi.
“Hambatan lainnya berupa denda tilang, larangan masuk jalan tol untuk truk pengangkut CPO,” katanya.
Jika kebijakan ODOL benar-benar diterapkan pada 2023, dia menuturkan, industri sawit harus meremajakan 14.628 unit truk per tahun, dengan sasaran truk yang berumur 10 tahun. Biaya yang dibutuhkan mencapai Rp 10 triliun. Kebijakan ini juga akan berdampak terhadap 1.625 perusahaan perkebunan sawit.
Tak hanya itu, menurut perhitungan Agung, kebijakan ODOL akan menyebabkan biaya angkut/logistik di industri perkebunan melonjak dua kali lipat atau setara dengan Rp 32 triliun per tahun. Merespons ini, perusahaan sawit mempersiapkan tambahan jumlah truk dan supir menjadi dua kali dari saat ini.
Kemudian, dia menegaskan, perusahaan sawit mempersiapkan dana tambahan untuk modifikasi dan operasional, termasuk mempersiapkan proses loading dan unloading, sehingga tidak terjadi antrean yang panjang. “Kami juga minta penambahan lebar jalan maupun kelas jalan sesuai dengan bertambahnya armada truk yang akan beroperasi jika aturan ODOL ini diberlakukan,” tandas Agung, yang dalam webinar itu mewakili Ketua Umum Gapki Joko Supriyono.
Baca Juga: Kemenko nilai industri kelapa sawit sediakan lapangan kerja layak dalam jumlah besar
Sementara itu, Direktur Prasarana Transportasi Jalan, Direktorat Jenderal (Ditjen) Perhubungan Darat (Kemenhub) Mohamad Risal Wasal mengatakan, kendaraan ODOL bisa mengurangi daya saing internasional, karena tidak bisa melewati pos lintas batas negara (PLBN). Muatan berlebih juga bisa memperpendek umur kendaraan, serta menimbulkan polusi udara yang berlebihan.
Menurut Risal Wasal, perumusan kendaraan ODOL ini telah dilakukan sejak 2017. Pada 2020, dilakukan rapat antara Kemenhub, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Korlantas Polri, serta asosiasi industri untuk membahas aturan ini.