kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Industri tekstil keluhkan sikap pemerintah yang dinilai pro APD impor


Senin, 18 Mei 2020 / 05:50 WIB
Industri tekstil keluhkan sikap pemerintah yang dinilai pro APD impor


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto

“Woven harganya jauh lebih murah, karena non-woven spunbond menggunakan bahan Polyprophilene yang harganya naik hampir 2 kali lipat karena digunakan juga sebagai bahan baku masker, ” terang Rusdi.

Hal ini diamini oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta. Redma mengungkapkan bahwa pihaknya memang memproduksi APD, khususnya Hazmat dan Gown. Kegiatan produksi dilakukan dengan berpedoman pada arahan BNPB agar APD yang dibuat memenuhi kriteria WHO.

Alur kegiatan produksi APD melibatkan baik anggota APSyFi maupun Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) . Dalam hal ini, anggota APSyFI berperan memasok serat, benang, hingga kain woven yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan APD. Sementara anggota API berperan memproduksi kain dan garmennya.

Oleh karenanya, APSyFi dan API merasa kecewa dengan sikap pemerintah yang dinilai kurang mendukung produk APD berbahan baku woven buatan dalam negeri.

Padahal, meski volume produksinya hanya setara dengan kurang lebih 3%-5% total produksi dalam kondisi normal, produk APD berbahan baku woven yang terjual bisa meringankan beban keuangan perusahaan, terutama dalam membayar gaji karyawan.

Terlebih, kegiatan produksi APD di dalam negeri melibatkan tenaga kerja yang jumlahnya tidak sedikit. 

Baca Juga: Permintaan Tinggi, Sritex (SRIL) Berharap Bisa Mengekspor APD dan Masker

“10 juta potong APD per bulan itu dikerjakan oleh 15 ribu orang di garment, 10 ribu orang untuk produksi 30 juta meter kain, dan 7 ribu orang untuk produksi 2500 ton benang dan 5 ribu orang untuk produksi 2500 ton serat, jadi total 37 ribu tenaga kerja di sekitar 20 perusahaan” jelas Redma.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil menyatakan bahwa pihaknya masih berharap agar pemerintah dapat menyerap APD lokal.

Ia menilai, meskipun hanya sekitar 5% dari produksi normal, setidaknya dapat menyerap tenaga kerja lokal yang sedang kesusahan di masa pendemi.

“Karena seharusnya prioritas penggunaan produk dalam negeri itu harus terimplementasi, bukan sekadar lips service saja,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×