Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ikatan Ahli Tekstil Indonesia (IKATSI) mengeluhkan sikap Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia yang dinilai tidak pro terhadap produsen pelindung diri (APD) dalam negeri.
Dalam hal ini, IKATSI menilai bahwa tindakan Kemenkes yang mempersyaratkan penggunaan bahan baku non-woven bertujuan untuk memudahkan produk APD impor agar bisa masuk dengan leluasa. Dugaan IKATSI, sikap ini didorong oleh adanya keterlibatan mafia impor.
“Begitu kuatnya penetrasi para mafia impor ini seharusnya jadi perhatian penegak hukum seperti kasus 27 kontainer tekstil di Batam,” kata Ketua Umum IKATSI, Suharno Rusdi dalam keterangan tertulis, Minggu (17/5).
Rusdi tidak memungkiri bahwa kapasitas produksi non-woven dalam negeri untuk memasok kebutuhan pembuatan APD memang terbatas, yakni hanya berkisar 1 juta potong per bulan.
Baca Juga: Akibat corona, Asia Pacific Fibers (POLY) kaji revisi capex di tahun ini
Meski begitu, pelaku industri dalam negeri mampu memasok bahan baku woven untuk membuat lebih dari 375 juta potong APD per bulannya.
Sementara itu, kapasitas garment dan IKM konveksi dalam memproduksi APD mencapai 2,5 juta ton pertahun atau kurang lebih setara dengan 600 juta potong per bulan.
Kapasitas ini diyakini sudah dapat memenuhi kebutuhan APD di dalam negeri, terutama Hazmat dan Gown yang diperkirakan mencapai hanya 10 juta potong per bulan.
Berpegang pada hasil kajian keahlian tekstil di IKATSI, Rusdi menilai bahwa baik APD yang berbahan baku woven maupun non-woven memiliki kemampuan water and blood penetration yang sama lantaran menggunakan teknologi coating atau laminasi yang sama.
Apalagi, pengembangan APD berbahan baku woven atau kain tenun juga dilakukan bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta sudah dites dilab uji Balai Besar Tekstil (BBT) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Berdasarkan hasil tes yang diperoleh, disimpulkan bahwa penggunaan bahan baku woven dalam pembuatan APD sudah memenuhi standar Hazmat dan Gown dari WHO,
Di sisi lain, bahan woven justru dinilai memiliki kelebihan karena woven lebih tahan sobek, lentur dan mudah digunakan untuk bernafas dibandingkan dengan bahan non-woven. Di samping itu, bahan woven juga diyakini memiliki keunggulan dari segi harga.
Baca Juga: Ada corona, sejumlah emiten tekstil bakal sesuaikan capex tahun ini
“Woven harganya jauh lebih murah, karena non-woven spunbond menggunakan bahan Polyprophilene yang harganya naik hampir 2 kali lipat karena digunakan juga sebagai bahan baku masker, ” terang Rusdi.
Hal ini diamini oleh Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta. Redma mengungkapkan bahwa pihaknya memang memproduksi APD, khususnya Hazmat dan Gown. Kegiatan produksi dilakukan dengan berpedoman pada arahan BNPB agar APD yang dibuat memenuhi kriteria WHO.
Alur kegiatan produksi APD melibatkan baik anggota APSyFi maupun Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) . Dalam hal ini, anggota APSyFI berperan memasok serat, benang, hingga kain woven yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan APD. Sementara anggota API berperan memproduksi kain dan garmennya.
Oleh karenanya, APSyFi dan API merasa kecewa dengan sikap pemerintah yang dinilai kurang mendukung produk APD berbahan baku woven buatan dalam negeri.
Padahal, meski volume produksinya hanya setara dengan kurang lebih 3%-5% total produksi dalam kondisi normal, produk APD berbahan baku woven yang terjual bisa meringankan beban keuangan perusahaan, terutama dalam membayar gaji karyawan.
Terlebih, kegiatan produksi APD di dalam negeri melibatkan tenaga kerja yang jumlahnya tidak sedikit.
Baca Juga: Permintaan Tinggi, Sritex (SRIL) Berharap Bisa Mengekspor APD dan Masker
“10 juta potong APD per bulan itu dikerjakan oleh 15 ribu orang di garment, 10 ribu orang untuk produksi 30 juta meter kain, dan 7 ribu orang untuk produksi 2500 ton benang dan 5 ribu orang untuk produksi 2500 ton serat, jadi total 37 ribu tenaga kerja di sekitar 20 perusahaan” jelas Redma.
Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Rizal Tanzil menyatakan bahwa pihaknya masih berharap agar pemerintah dapat menyerap APD lokal.
Ia menilai, meskipun hanya sekitar 5% dari produksi normal, setidaknya dapat menyerap tenaga kerja lokal yang sedang kesusahan di masa pendemi.
“Karena seharusnya prioritas penggunaan produk dalam negeri itu harus terimplementasi, bukan sekadar lips service saja,” tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News