Reporter: Dimas Andi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional tak henti-hentinya didera masalah. Satu per satu pabrik TPT terus berguguran, tak kuasa menahan gempuran produk impor ilegal yang membanjiri pasar.
Yang terbaru, ada PT Pandanarum Kenanga Textile (Panamtex) asal Pekalongan, Jawa Tengah, yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang pada 12 September 2024 lalu.
Permohonan pailit ini diajukan oleh para mantan pekerja Panamtex yang belum dipenuhi haknya. Panamtex sendiri memproduksi kain sarung yang berorientasi ekspor.
Sebelumnya, pabrik tekstil lainnya yaitu PT Sampangan Duta Panca Sakti Tekstil (Dupantex) juga telah berhenti beroperasi sejak 6 Juni 2024. Namun, pabrik yang juga berada di Pekalogan ini disinyalir belum melunasi kewajiban pembayaran upah terhadap sebagian karyawannya. Produsen kain ekspor ini masih berstatus Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sementara yang mana Rapat Permusyawaratan Majelis baru akan dilaksanakan pada 9 Oktober nanti.
Baca Juga: PHK Massal di Industri Tekstil, API Desak Perbaikan Regulasi Importasi
Tutupnya berbagai pabrik TPT tentu membuat para karyawan di sektor ini dibayangi oleh ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), sebanyak 46.240 pekerja terkena PHK pada Januari-Agustus 2024. Mayoritas pekerja yang di-PHK berasal dari sektor TPT. Jumlah ini bisa saja bertambah mengingat banyak perusahaan TPT yang tidak melaporkan tindakan PHK kepada karyawannya, apalagi di kalangan UMKM.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, tren penutupan pabrik yang diikuti oleh PHK karyawan akan terus terjadi selama pemerintah tidak serius menutup rapat celah impor TPT ilegal.
Lantas, pabrik-pabrik yang masih beroperasi pun tidak mampu berproduksi secara optimal, mengingat produknya kalah saing dengan produk impor ilegal.
"Posisi saat ini utilisasi TPT secara nasional tinggal 40%," kata Redma, Kamis (26/9).
Satgas kurang efektif
APSyFI menyoroti kinerja Satgas Anti Impor Ilegal yang dianggap tidak efektif karena hanya berwenang terhadap penindakan di pasar. Padahal, pintu masuk yang menjadi penyebab utama maraknya impor TPT ilegal berada di bawah Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
"Sampai saat ini tidak ada niatan dari Bea Cukai untuk memperbaiki. Justru mereka malah sibuk mencari alasan," kata Redma.
Dalam catatan Kontan, masa kerja Satgas Anti Impor Ilegal yang melibatkan berbagai kementerian, Kejaksaan Agung, hingga Badan Intelijen Negara (BIN) akan berakhir pada Desember 2024.
Baca Juga: PHK di Industri Tekstil Kian Parah, APSyFI Desak Pemerintah Hentikan Impor Ilegal
Senada, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Danang Girindrawardana khawatir, Satgas hanya hadir layaknya seremonial semata. Tidak diketahui seperti apa proses hukum atas terduga pelaku importasi TPT ilegal yang dibekuk Satgas.
"Publik juga tidak siapa pelaku-pelaku impor ilegal," imbuh dia, Kamis (26/9).
API tak menampik adanya sikap wait and see dari importir TPT ilegal semenjak adanya Satgas Anti Impor Ilegal. Namun, bukan berarti mereka kapok untuk berjualan di Indonesia.
Apalagi, terdapat oknum-oknum yang biasa membantu kegiatan importasi ilegal tersebut. Alhasil, penindakan hukum terhadap pelaku impor ilegal terkesan setengah hati.
Lebih lanjut, prospek industri TPT diperkirakan masih akan suram sampai akhir tahun nanti, meski terdapat momentum libur natal dan tahun baru. Hal ini seiring kondisi ekonomi yang tidak stabil dan ditandai oleh daya beli masyarakat yang melemah.
"Sepertinya permintaan tidak akan signifikan dan itu pun akan dimakan oleh barang impor," tandas Redma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News