kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Industri tekstil masih dibayangi berbagai tantangan


Kamis, 25 Maret 2021 / 18:53 WIB
Industri tekstil masih dibayangi berbagai tantangan
ILUSTRASI. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri tampak masih tertatih-tatih langkahnya menghadapi tantangan di masa pandemi.


Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri tampak masih tertatih-tatih langkahnya menghadapi tantangan di masa pandemi Covid-19. Padahal, industri ini dipandang memiliki peran penting dalam perekonomian nasional.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menyampaikan, industri tekstil mulai merasakan dampak pandemi Covid-19 sejak kuartal II-2020 seiring anjloknya utilisasi pabrik di sektor tersebut hingga 30% akibat kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan penurunan daya beli masyarakat.

Kemudian, utilisasi di industri tekstil mulai meningkat menjadi 50% pada kuartal III-2020 dan 70% pada kuartal III-2020. “Meski daya beli masyarakat saat itu belum pulih, namun dilakukan pengetatan izin impor oleh pemerintah sehingga utilitas naik,” ujar dia, Kamis (25/3).

Baca Juga: Menilik strategi pelaku industri garmen menggarap momentum lebaran tahun ini

Memasuki kuartal I-2021, utilisasi industri tekstil semakin membaik lantaran mencapai level 80%. Namun, tantangan berbeda justru hadir berupa membanjirnya kain-kain impor ilegal lewat kapal tongkang dan maraknya perederan pakaian jadi impor yang dijual lewat toko online atau e-commerce.

Padahal, di periode yang sama, harga minyak mentah dunia sedang merangkak naik sehingga harga baku tekstil seperti paraxylene (PX), purified terephtalic acid (PTA), methyl ethylene glycol (MEG), pulp rayon, hingga kapas juga ikut membengkak. Kondisi ini tentu mengerek harga benang, kain, dan pakain jadi yang dijual di pasar. “Alhasil, industri TPT dari hulu ke hilir saat ini tengah resah,” imbuh Redma.

Menurutnya, pasar ekspor tekstil untuk beberapa kategori produk sebenarnya masih bisa dimanfaatkan oleh pemain Indonesia. Hanya memang, harus diakui bahwa permintaan ekspor tidak sekuat dibanding tahun-tahun sebelum pandemi.

Untuk saat ini, APSyFI sangat mengkhawatirkan maraknya impor produk pakaian jadi berharga murah karena langsung berdampak negatif bagi pelaku Industri Kecil Menengah (IKM). Padahal, IKM disebut sebagai ujung tombak dari rantai industri TPT di dalam negeri. “Pakaian jadi murah impor saat ini sudah menumpuk di gudang-gudang Indonesia dan siap edar melalui platform online,” kata Redma.

APSyFI pun menilai sektor TPT sebenarnya tidak memerlukan banyak insentif. Namun, asosiasi ini meminta adanya prioritas berupa jaminan pasar domestik. Dalam hal ini, pemerintah didesak untuk segera memberlakukan penerapan safeguard atau tindakan pengamanan terhadap maraknya produk tekstil impor, terutama pakaian jadi. Sebab, selain IKM, para pelaku usaha tekstil lainnya pasti akan dirugikan oleh masalah tersebut.

“Kami perlu kebijakan perdagangan yang pro industri dalam negeri, bukan kebijakan perdagangan yang pro barang impor,” kata Redma.

Dia juga mengaku, dengan adanya serangkaian kondisi yang kurang mendukung saat ini, pihaknya masih perlu menghitung ulang proyeksi pertumbuhan industri tekstil di 2021 dan seterusnya.

Baca Juga: Pelaku industri garmen meramu strategi untuk menggarap momentum lebaran tahun ini




TERBARU

[X]
×