Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
Selain itu, pasal 31 UU Migas No 22 Tahun 2001 mengatur bahwa perpajakan kontrak PSC mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku umum (lex generalis) sehingga para kontraktor PSC dikenakan ketentuan fiskal PSC non assume and discharge.
Pri melihat memang ada upaya untuk memperbaiki hal tersebut oleh pemerintah, salah satunya melalui mekanisme restitusi pajak dan penetapan tarif 0% atas jenis pajak atau pungutan tertentu.
Namun, secara teknis dan administrasi hal itu tetap dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan aspek fiskal bagi kontrak PSC. “Hal ini tentu berpengaruh kepada iklim investasi migas Indonesia dan daya tarik investasi,” ujar dia.
Baca Juga: Medco Energi (MEDC) Siap Buyback Rp 120 Miliar, Cermati Rekomendasi Sahamnya
Di sisi lain, ke depannya investasi hulu migas pun juga akan mengalami tantangan yang besar karena adanya tren transisi energi. Pri menilai, RUU Migas juga harus mengadopsi isu transisi energi di dalamnya, salah satunya mengatur adopsi teknologi CCS/CCUS sebagai kesatuan integral dari operasi perminyakan dan biaya operasi.
Pasalnya, biaya untuk mengadopsi CCS/CCUS sangat besar, maka diperlukan insentif yang lebih menarik dan kepastian hukum jika pemerintah mau menarik minat KKKS asing ke Indonesia.
“Butuh banyak terobosan kebijakan seperti kontrak khusus untuk lapangan berumur tua (mature). Makanya perlu landasan hukum yang kuat. Di situ relevansinya revisi UU migas perlu segera dibereskan,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News