Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pendiri Reforminer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan ada tiga hal yang membuat iklim investasi hulu migas Indonesia kurang kompetitif.
Tiga faktor ini yang membuat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Asing dalam beberapa tahun belakangan pada hengkang dari sektor hulu migas tanah air.
“Ketiga hal tersebut ialah kepastian hukum lemah, fiskal keekonomian rendah dalam pengembalian investasi, dan birokrasi perizinan yang berlapis,” jelasnya kepada Kontan.co.id, Senin (8/5).
Maka itu, dia menegaskan bahwa Revisi Undang-Undang (RUU) Migas perlu segera dibahas dan diselesaikan antara DPR dan pemerintah. Menurutnya, ini adalah sinyal bagi iklim investasi, seberapa serius Indonesia menyelesaikan tiga persoalan utama tersebut.
Baca Juga: Pengamat: Kebijakan Sektor Energi Maju Mundur, Dominan Dipengaruhi Faktor Politik
Jika tiga persoalan utama tadi tidak diatasi, target produksi 1 juta barel minyak bumi dan 12 miliar kaki kubik gas bumi per hari di 2030 tidak akan bisa dicapai.
“Menjaga tingkat produksi saat ini saja akan kesulitan,” ujarnya.
Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 (UU Migas 22/2001) yang masih digunakan saat ini telah meniadakan keistimewaan dalam pengelolaan migas saat ini, di antaranya prinsip Assume and Discharge, pemisahan Production Sharing Contract Agreement (PSC) dengan Keuangan Negara serta Single Door Bureaucracy.
Menurut dia, ketentuan pada UU Migas No 22 Tahun 2001, pengelolaan keuangan kontrak PSC masuk dalam bagian dari pengelolaan keuangan negara karena pihak yang mewakili negara dalam berkontrak merupakan instansi pemerintah.
Hal itu berpotensi memunculkan berbagai dampak negatif, seperti persepsi yang cenderung negatif terkait besaran pengembalian biaya operasi (cost recovery), kaitan cost recovery dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta tereksposenya para pihak dalam kontrak PSC dengan hukum karena kerugian investasi migas dapat dianggap merugikan negara.
Baca Juga: Genjot Kinerja 2023, Wintemar Offshore (WINS) Kejar Kontrak Baru
Selain itu, pasal 31 UU Migas No 22 Tahun 2001 mengatur bahwa perpajakan kontrak PSC mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku umum (lex generalis) sehingga para kontraktor PSC dikenakan ketentuan fiskal PSC non assume and discharge.
Pri melihat memang ada upaya untuk memperbaiki hal tersebut oleh pemerintah, salah satunya melalui mekanisme restitusi pajak dan penetapan tarif 0% atas jenis pajak atau pungutan tertentu.
Namun, secara teknis dan administrasi hal itu tetap dapat menimbulkan ketidakpastian dalam penerapan aspek fiskal bagi kontrak PSC. “Hal ini tentu berpengaruh kepada iklim investasi migas Indonesia dan daya tarik investasi,” ujar dia.
Baca Juga: Medco Energi (MEDC) Siap Buyback Rp 120 Miliar, Cermati Rekomendasi Sahamnya
Di sisi lain, ke depannya investasi hulu migas pun juga akan mengalami tantangan yang besar karena adanya tren transisi energi. Pri menilai, RUU Migas juga harus mengadopsi isu transisi energi di dalamnya, salah satunya mengatur adopsi teknologi CCS/CCUS sebagai kesatuan integral dari operasi perminyakan dan biaya operasi.
Pasalnya, biaya untuk mengadopsi CCS/CCUS sangat besar, maka diperlukan insentif yang lebih menarik dan kepastian hukum jika pemerintah mau menarik minat KKKS asing ke Indonesia.
“Butuh banyak terobosan kebijakan seperti kontrak khusus untuk lapangan berumur tua (mature). Makanya perlu landasan hukum yang kuat. Di situ relevansinya revisi UU migas perlu segera dibereskan,” tandasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News