Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Himpunan Penambang Kuarsa Indonesia (HIPKI) meminta pemerintah tidak terburu-buru mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor pasir kuarsa.
“Hati-hati. Jangan terburu-buru memutuskan pelarangan ekspor pasir kuarsa ini. Kenapa? Karena, Indonesia bukan produsen utama pasir kuarsa dunia. Jadi, kalau pelarangan ekspor ini dilakukan, ya negara produsen lain yang diuntungkan,” ujar Ketua Umum HIPKI, Ady Indra Pawennari, dalam keterangan resmi, Kamis (27/7)
Menurut Ady, produksi dan ekspor pasir kuarsa Indonesia sejauh ini hampir tidak berpengaruh pada perkembangan industri panel surya dunia saat ini.
Pada tahun 2020, produksi pasir kuarsa Indonesia adalah sebesar 1,87 juta meter kubik atau setara dengan 4,675 juta ton dengan berat jenis 2,5 ton/m3. Sementara yang diekspor hanya 744,392 ribu ton atau hanya sekitar 15,9 persen dari total produksi.
Kemudian, pada tahun 2021 ekspor pasir kuarsa Indonesia sebesar 1.198.252 ton atau hanya sekitar 3,48% dari total nilai ekspor pasir kuarsa dunia yang didominasi oleh AS sebesar 31,2%, Australia 12,2% dan Belgia 7,45%.
“Jadi, saya mau katakan, porsi ekspor pasir kuarsa Indonesia itu, tidak terlalu signifikan pengaruhnya secara global dan Indonesia bukan pemain utama,” ungkap Ady.
Baca Juga: Pulau Rempang di Batam Akan Jadi Kawasan Industri Hilirisasi
Data tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia berada di luar dari 10 besar produsen pasir kuarsa dunia, dengan produksi jauh lebih kecil dibanding Amerika Serikat, Australia, Belanda, India, Turki, Prancis, Italia, Bulgaria, Spanyol, Polandia, Kanada, Inggris bahkan Malaysia, Agentina, dan Meksiko (U.S. Geological Survey).
Menurut Ady, pelarangan ekspor pasir kuarsa hanya akan menguntungkan negara lain yang selama ini menjadi penguasa pasar pasir kuarsa dunia ditambah lagi para pemain kelas menengah-kecil, seperti Jerman, Arab Saudi, Malaysia, Mesir, Belanda, China, dan Vietnam karena segmen pasar ekspor Indonesia akan diambil oleh mereka.
Ketimbang terburu-buru melarang ekspor, sambung Ady, sebaiknya pemerintah menempuh strategi hilirisasi dengan mempercepat perbaikan iklim usaha, seperti memastikan kemudahan perizinan, mendorong transparansi dan akuntabilitas, termasuk pemberantasan korupsi untuk semua sektor yang terkait dengan investasi sumber daya mineral, termasuk pasir kuarsa.
Kemudian, mendorong percepatan pertumbuhan industri dalam negeri yang menggunakan pasir kuarsa, termasuk industri microchip dan panel surya yang sangat strategis itu, sehingga pasar domestik pasir kuarsa kualitas tinggi Indonesia menjadi lebih terbuka. Hal ini juga akan mempercepat proses alih teknologi modern yang belum dimiliki oleh Indonesia saat ini.
“Presiden tinggal meminta menteri-menterinya yang terkait dengan sektor ini untuk memfasilitasi investor pemilik modal dan teknologi hilirasi dengan para pengusaha lokal,” ujarnya.
Menurut Ady, hal ini penting karena sebagian besar pemilik konsesi pasir kuarsa orang daerah yang sangat terbatas dengan akses-akses tersebut.
Baca Juga: Pemerintah Siapkan Pulau Rempang di Batam Jadi Kawasan Industri Hilirisasi
Dengan demikian, potensi pasir kuarsa di Indonesia semakin terekspos dan tahapan hilirisasi dapat dioptimalkan dengan baik.
Sebagai catatan pembanding dalam penerapan kebijakan pelarangan ekspor nikel dan bauksit, Ady membeberkan bahwa Indonesia baru berani memutuskan untuk melarang ekspor nikel setelah lebih dari 30 tahun smelter nikel berdiri melalui PT Antam dan PT Vale Indonesia.
Begitu juga penghentian ekspor bauksit yang baru dilakukan setelah lebih dari 30 tahun Indonesia memproduksi aluminium dari bauksit melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM), lalu beberapa smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian berdiri belakangan ini. Bahkan, hingga hari ini pemerintah belum melarang ekspor tembaga, padahal kegiatan ini telah berlangsung selama lebih dari 40 tahun.
“Lalu, pertanyaannya, adilkah kita semerta-merta berpikir untuk melarang ekspor pasir kuarsa yang masih seumur jagung dan umumnya dikelola oleh pengusaha daerah dalam skala kecil-mengengah, dan tanpa insentif apa-apa?” tanya Ady.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News