Reporter: Muhammad Julian | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno menyatakan, pada prinsipnya ia mendukung rencana kebijakan pelarangan ekspor bauksit yang diwacanakan oleh pemerintah. Sebab, kata Eddy, kebijakan tersebut merupakan bagian dari kebijakan holistik untuk mewajibkan hilirisasi pada kegiatan pertambangan mineral.
Meski begitu, ia juga memberikan sejumlah catatan bagi pemerintah. Menurutnya, pemerintah juga perlu melakukan pendalaman terhadap potensi dampak yang mungkin bisa terjadi akibat kebijakan larangan ekspor tersebut.
“Misalkan saja bagi mereka-mereka yang belum memiliki smelter dan berproduksi, apakah produknya itu kemudian harus ditumpuk dan hanya boleh diekspor ketika smelter sudah bisa beroperasi? Itu kan artinya akan ada kehilangan devisa bagi negara,” tutur Eddy kepada Kontan.co.id, Rabu (21/12).
“Di samping itu juga ada potensi juga bagi mereka yang berhenti beroperasi, akan ada potensi kehilangan pekerjaan,” imbuhnya lagi.
Baca Juga: Ada Wacana Larangan Ekspor Bijih Bauksit, IMA: Perlu Ada Percepatan Industri Hilir
Catatan lainnya, pemerintah menurut Eddy juga bisa melakukan hilirisasi hingga ke produk akhir dengan menghadirkan industri-industri turunan. Dengan begitu, hilirisasi dapat berjalan secara komprehensif sampai ke produk jadi.
“Bagi saya ini momen penting bagi kita untuk menggenjot hilirisasi secara komprehensif secara utuh dari produk-produk turunannya. Smelter itu kan baru merupakan turunan pertama dari proses hilirisasi, kalau kita bisa melakukan proses hilirisasi sampai ke produk akhir tentu itu sangat menambahi nilai, nilai tambahnya sangat besar,” terang Eddy.
Seperti diketahui, pemerintah berencana melakukan pelarangan ekspor bijih bauksit sekaligus mendorong industri pengolahan dan pemurnian bauksit di dalam negeri. Kebijakan pelarangan tersebut akan mulai diberlakukan pada Juni 2023. Kebijakan tersebut diumumkan oleh Jokowi pada Rabu (21/12).
Sebelumnya,pemerintah telah memberlakukan kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel sejak 1 Januari 2020 lalu. Kebijakan tersebut, berdasarkan catatan Presiden Joko Widodo (Jokowi), berhasil meningkatkan nilai ekspor nikel secara signifikan dari Rp17 triliun di akhir tahun 2014 menjadi Rp 326 triliun pada tahun 2021, atau meningkat 19 kali lipat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News