Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
Kelima, pembahasan RUU Minerba dinilai tidak melibatkan partisipasi publik dan stakeholder. Padahal, regulasi ini terkait dengan pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak.
Menurut Redi, dalam pembahasan RUU Minerba tidak terdapat audiensi dengan stakeholder, penerimaan aspirasi dari kelompok masyarakat, tidak melibatkan pakar dan perguruan tinggi, tidak dilaksanakan rapat dengar pendapat umum, serta tidak ada pengambilan aspirasi ke daerah.
"Bahkan beberapa kelompok masyarakat dan perguruan tinggi yang mengajukan permohonan audiensi untuk memberikan masukan diabaikan," sebutnya.
Keenam, pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Redi mengatakan, berdasarkan Pasal 22D UUD NRI Tahun 1945, Pasal 249 UU Nomor 17 Tahun 2014 dan Putusan MK No. 92/PPU-X/2012, DPD memiliki kewenangan membahas RUU yang berkaitan dengan hubungan pusat dan daerah, serta pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya.
"Sehingga pembahasan RUU Minerba secara konstitusional harus dibahas dengan melibatkan DPD. Pembahasan RUU Minerba yang tidak melibatkan DPD jelas pelanggaran terhadap UUD NRI 1945 dan inkonstitusional," terang Redi.
Baca Juga: Hilirisasi pertambangan banyak yang tertunda, berikut alasannya
Ketujuh, pengambilan keputusan Tingkat I pada rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM yang mewakili Pemerintah pada tanggal 11 Mei 2020 dilakukan secara virtual dan pengambilan keputusan Tingkat II dalam rapat paripurna pada tanggal 12 Mei 2020 juga dilakukan secara virtual, yaitu tanpa kehadiran fisik atau kehadiran fisik anggota DPR dilakukan secara perwakilan fraksi.
Kedelapan, Memaksakan rapat pengambilan keputusan atas RUU Minerba tidak sensitif terhadap wabah virus Covid-19. "Bahwa benar RUU Minerba penting, namun saat ini ada yang jauh lebih penting dan gawat yaitu penanganan virus Covid 19. Seharusnya Pemerintah dan DPR fokus untuk segera mengatasi wabah Covid 19," ujar Redi.
Ada sejumlah pemohon yang mengajukan gugatan, terdiri dari tokoh-tokoh yang bergerak di berbagai lapisan masyarakat. Mulai dari gubernur, mantan pejabat, pakar pertambangan hingga aktivitas mahasiswa. Dalam gugatan ini, paling tidak ada 10 pengacara yang tergabung dalam tim kuasa hukum pemohon.
Adapun pemohon gugatan UU Minerba baru itu antara lain: Erzaldi Rosman Djohan (Gubernur Kepulauan Bangka Belitung), Alirman Sori (Ketua PPUU DPD RI), Tamsil Linrung (anggota DPD RI), Hamdan Zoelva (Perkumpulan Serikat Islam), Marwan Batubara (Indonesian Resources Studies/IRESS), Budi Santoso (Indonesia Mining Watch/IMW), Ilham Rifki Nurfajar (Sekjen Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan), dan M. Andrean Saefudin (Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia).
Baca Juga: Meleset, Kementerian ESDM hanya targetkan 2 smelter baru yang beroperasi tahun ini