kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini hasil temuan KPK terkait penanganan crude Banyu Urip yang tak terserap


Selasa, 03 November 2020 / 11:00 WIB
Ini hasil temuan KPK terkait penanganan crude Banyu Urip yang tak terserap


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Komisi Pencegahan Korupsi (KPK) memastikan langkah penanganan crude (minyak mentah) Banyu Urip yang tak diserap PT Pertamina kini mengerucut pada tiga opsi.

Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengungkapkan, pertemuan telah dilakukan pada 27 Oktober lalu melibatkan Direktorat Jenderal Anggaran (DJA) Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) serta KPK.

Kendati demikian, pertemuan tersebut belum mencapai keputusan final. Pahala mengungkapkan, pihaknya masih harus meminta data-data tambahan perhitungan setiap opsi yang disampaikan Kementerian ESDM dan SKK Migas.

"KPK meminta modelling untuk ketiga opsi, semisal Pertamina menyerap bisanya berapa, kalau dilelang apakaha lelangnya terbuka, kemudian jika dipotong produksi hitung-hitungan gimana, dampaknya seperti apa," ujar Pahala kepada Kontan.co.id, Senin (2/11).

Asal tahu saja, sejauh ini ada tiga opsi yang mencuat yakni opsi melelang crude Banyu Urip, Ekspor Crude yang tak terserap serta pemangkasan produksi Banyu Urip.

Baca Juga: SKK Migas Siap Mengekspor Minyak Mentah Banyu Urip

Pahala menjelaskan, tak terserapnya Crude oleh Pertamina dikarenakan jenis crude Banyu Urip jika diolah maka akan menghasilkan produk solar yang demandnya disebut tengah menurun ditambah kondisi kapasitas kialng Pertamina yang hampir penuh.

Sementara lelang crude telah dilakukan SKK Migas pasca Pertamina tak menyerap crude tersebut. Sayangnya, hasil lelang yang sudah dilakukan dua kali urung tercapai pasalnya harga yang disepakati berada di bawah harga Indonesian Crude Price (ICP). Hal ini dinilai bertentangan dengan regulasi yang ada khususnya dari DJA Kemenkeu.

"Opsinya jika lelang terus dilakukan sampai mencapai harga ICP, maka produksi Banyu Urip terlanjur penuh dan dihadapkan pada beban biaya menyewa kapal penampung dan sulitnya mendapatkan jasa kapal penampung karena pada rebutan," kata Pahala.

Sebagai gambaran, beban biaya yang dikenakan untuk penampungan crude di kapal sebesar US$ 1,5 per barel untuk tiap bulannya. Sementara harga lelang rerakhir posisinya berada US$ 1,7 per barel dari harga ICP.

Sementara itu, opsi ekspor juga menemui kendala harga yang tidak ekonomis. Opsi terakhir yakni pemangkasan produksi dinilai kurang tepat dilakukan mengingat dampak berlanjut yang mungkin timbul bagi subkontraktor maupun target produksi migas serta ada bagian pemerintah yang akan terpangkas.

Disisi lain, Pahala menilai masih ada sejumlah K/L terkait yang harus juga dilibatkan seperti Kejaksaan serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pahala melanjutkan, pihaknya sejauh ini memetakan opsi yang paling mungkin dilakukan yakni Pertamina diminta untuk menyerap crude Banyu Urip dengan volume semampunya, nantinya sisanya akan dijual dengan harga di bawah ICP.

Sayangnya, opsi ini juga dinilai tidak bisa dilaksanakan begitu saja. Pahala menjelaskan, pihaknya perlu mengeluarkan rekomendasi atas kajian dari tiga opsi yang ada. Nantinya rekomendasi ini dapat digunakan sebagai acuan revisi Permen.

Baca Juga: Serapan crude Pertamina turun 20% imbas pandemi covid-19

"Opsi yang diambil bukam yang paling menguntungkan, tapi yang paling tidak merugikan negara. Mungkin itu jalan paling bagus, supaya opsi yang diambil misalnya dijual dibawah (ICP) pun ada landasannya," jelas Pahala.

Ia mengungkapkan, ada sejumlah poin yang mungkin masuk dalam rekomendasi yakni ketentuan agar diperbolehkan menjual crude di bawah ICP namun dengan sifat jangka waktu dan kondisi tertentu. Kemudian, mekanisme lelang dipastikan dilangsungkan secara terbuka.

Nantinya, jika sudah mulai menemui titik cerah, maka KPK pun disebut Pahala masih akan melakukan konfirmasi ke para pihak terkait seperti PT Pertamina dan ExxonMobil selaku operator Banyu Urip.

Menurutnya, perlu ada keputusan final yang harus segera diambil pasalnya pada pertengahan November diprediksi produksi Banyu Urip dan storage telah mencapai titik maksimum.

"Juga (memperhatikan) government sharing dan data-data, baru rekomendasi lalu dengan Kemkeu nanti bisa ngomong ke DPR karena ini kan asumsinya disetujui sama DPR," kata Pahala.

DPR tak inginkan pemangkasan produksi

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Edy Soeparno mengungkapkan sejauh ini pihaknya belum dilibatkan dalam komunikasi rencana penjualan crude Banyu Urip.

Namun, pihaknya berharap pemangkasan produksi tidak dilakukan.

"Jika memang crude berlebih bisa diekspor ada pasar dan harga baik maka lebih baik diekspor. Karena pemangkasan produksi ditengah turunnya produksi bukan langkah yang baik," jelas Edy kepada Kontan.co.id, Senin (2/11).

Edy melanjutkan, kebijakan mengekspor crude memang perlu kehati-hatian pasalnya menyangkut bagian pemerintah dan kewajiban Domestic Market Obligation (DMO).

Sebelumnya, Deputi Keuangan dan Monetisasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Arief S. handoko bilang jika stok crude Banyu Urip tak berhasil dijual maka pengurangan produksi bisa terjadi.

"Kenapa tidak bisa terjual, karena Pertamina punya stok banyak dan kilangnya demand berkurang karena Covid-19. Pesawat juga berkurang penerbangan," ungkap Arief dalam konferensi pers virtual, Jumat (23/10).

Arief menambahkan, selama ini Pertamina selain masih mengimpor crude juga masih mengimpor produk Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan demand yang menurun maka penyerapan crude domestik dari Banyu UripĀ  akan sulit dilakukan.

Kendati demikian, Arief mengungkapkan pengurangan produksi tidak ideal dilakukan pasalnya saat ini tercatat kebutuhan crude dalam negeri jumlahnya dua kali lipat dari produksi yang bisa dihasilkan di Indonesia.

Jumlah impor crude pun juga disebut lebih besar dari kemampuan produksi, sehingga pengurangan produksi dirasa kurang tepat dilakukan. Untuk itu, Arief memastikan pihaknya membuka opsi mengekspor crude produksi Lapangan Banyu Urip.

Selanjutnya: Pertamina tak serap crude, Banyu Urip hadapi potensi pengurangan produksi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×