kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini kekecewaan SP Pertamina terkait Blok Mahakam


Minggu, 21 Juni 2015 / 16:11 WIB
Ini kekecewaan SP Pertamina terkait Blok Mahakam


Reporter: Agustinus Beo Da Costa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

MEDAN. Serikat Pekerja Pertamina UPMS I (SPP UPMS I) menilai Pemerintah Indonesia semakin terlihat tidak berpihak terhadap kepentingan nasional. Sebagai bukti, ditetapkannya participating interest untuk Blok Mahakam yang tidak 100% dimiliki oleh Pertamina pada Jumat (19/6).

“Memang, Pertamina tetap 100% menjadi operator. Tapi kita juga melihat bahwa dari sisi participating interest Pertamina hanya punya 70% pun itu akan diwajibkan lagi untuk di-share ke BUMD. BUMD masih Indonesia, tidak jadi masalah, tapi kenapa Total (Prancis)-Inpek (Jepang) masih dapat PI 30 %?”  ujar Ketua SPP UMPS I Sutrisno dalam siaran pers Minggu (21/6).  

Sutrisno mempertanyakan, pihak pengelola Blok Mahakam sebelumnya sudah 50 tahun menjadi operator dan sekaligus memiliki PI sebesar 100%. “Apa untungnya buat negara jika mereka sudah 50 tahun menikmati kekayaan gas kita di Mahakam. Dan, sekarang masih harus dikasih lagi sebesar 30?” ujarnya.

Dengan tidak memiliki kepemilikan atas Blok Mahakam sebesar 100%, maka dia menduga bahwa pemerintah memang tidak sepenuhnya menginginkan Pertamina tumbuh besar di negeri sendiri. Saat ini, Pertamina memang masih menjadi produsen migas dengan produksi terbesar nomor dua di Indonesia. Padahal, lanjutnya, di sisi lain dari kinerja K3S yang ada di Indonesia, hanya Pertamina yang dalam kurun lima tahun terakhir menunjukkan tren produksi migas yang meningkat.

“Sepertinya mereka memang tidak ingin Pertamina menjadi perusahaan besar.” tandasnya.

Di sisi lain, upaya pengerdilan Pertamina ini juga terlihat dari kebijakan pemerintah di sektor hilir migas. Khususnya dalam hal penetapan harga BBM tertentu yang di satu sisi membebani keuangan Pertamina. “Dulu di awal kebijakan harga Premium di luar Jawa Madura Bali akan disesuaikan tiap bulan. Nyatanya, saat ini ketika harga sudah tidak sesuai, Pertamina dipaksa menanggung kerugian dari selisih harga dan biaya distribusi yang merugikan keuangan kita,” lanjutnya.

Belum lagi intervensi pemerintah dalam penetapan harga BBM Umum Pertamax Series akhir-akhir ini. Dikatakan Sutrisno, dalam sepanjang sejarah, pemerintah tidak pernah mencampuri urusan penetapan harga BBM Pertamax Series yang bukan barang subsidi. “Anehnya, beberapa waktu lalu pemerintah memaksa kita untuk tidak menyesuaikan harga. Sementara SPBU-SPBU Asing dibiarkan saja mengatur harga BBM mereka sendiri,” tandasnya.

Sementara, dalam lima tahun terakhir, dengan model melarang penyesuaian harga seperti ini, Pertamina juga dipaksa merugi menjual LPG 12 kg triliunan rupiah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×