Reporter: Kiki Safitri | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menyebut ekspor CPO (Crude Palm Oil) diprediksi akan menurun hingga akhir tahun.
Berdasarkan data Gapki (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia) pada tahun 2017 volume ekspor tercatat tumbuh 23,6% menjadi 31,05 juta ton atau dengan nilai US$ 22,97 miliar.
Jika terjadi penurunan nilai ekspor sebanyak 8,5% maka diprediksi ekspor tahun 2018 adalah US$ 21,02 dengan volume 28,45 juta ton.
Menurut Bhima ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan ekspor CPO. Beberapa faktor antara lain adalah tingginya bea masuk yang ditetapkan negara importir dan pelemahan rupiah yang terus terjadi.
“Faktor utama adalah adanya proteksi dagang dari India, yakni bea masuk untuk minyak sawit Indonesia itu naik ya menjadi 57%, karena India menjelang pemilu, maka wacananya kan populisme dengan melindungi industri dalam negerinya dari impor barang Indonesia,” kata Bhima kepada Kontan.co.id, Jumat (2/11).
Selain itu, masalah pelemahan nilai tukar di mana beberapa cost atau pengeluaran otomatis bertambah karena menggunakan mata uang dollar dalam transaksinya.
Bhima menyebut bahwa logika ekspor Indonesia tidak linear dengan teori ekonomi dimana pelemahan rupiah seharusnya menguntungkan ekspor.
“Biaya logistik menjadi lebih mahal karena 90% kapal ekspor dan impor adalah kapal asing sehingga harus membayar lebih mahal karena pakai dollar,” ungkapnya.
Selanjutnya, masalah impor Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tinggi. Menyebabkan biaya transportasi logistik meningkat.
“Lalu, di sisi lain logistik itu memerlukan BBM yang sebagian besar itu kita impor 1,6 juta barel/ hari Sehingga itu juga pakai acuan dollar, dan harga minyak mentah kan mahal. Sehingga ketika rupiah melemah dan dollar menguat, maka ongkos logistik kita menjadi lebih mahal sehingga menurunkan daya saing sawit Indonesia,” tegasnya.
Masalah terkahir adalah perang dagang Amerika Serikat dan China, yang juga mempengaruhi ekpor CPO Indonesia turun. Bhima menilai sejauh ini pertumbuhan ekonomi China melambat sehingga secara tidak langsung mengurangi impor.
“Selanjutnya ada juga efek perang dagang Amerika Serikat dan China, saat ini ekonomi China di kuartal III kan 6,5% sudah mulai melambat, maka efeknya adalah permintaan dari komoditi Indonesia berkurang, dan makanya kinerja ekspor kita juga terpukul oleh itu,” ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News