Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesian National Shipowners Association (INSA) mengatakan akan ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi oleh emiten-emiten pelayaran di dalam negeri.
Ketua INSA, Carmelita Hartoto mengatakan salah satu kendala adalah karena saat ini Indonesia berada dalam kondisi ketidakpastian yang tinggi, karena perang Rusia- Ukraina dan Israel-Palestina, serta perlambatan ekonomi Tiongkok.
“Ketidakpastian yang tinggi membuat kita harus lebih cermat membaca situasi bisnis pelayaran. Belum lagi kan kita memasuki tahun politik yang mana tentu ini akan sedikit membuat pelaku usaha lebih menahan diri dalam melakukan aksi bisnis,” ungkapnya saat dihubungi Kontan, Rabu (8/11).
Baca Juga: Kinerja Samudera Indonesia (SMDR) Tertekan pada Kuartal III-2023, Ini Pemicunya
Selain dampak geopolitik, tren kenaikan harga minyak dunia juga dianggap akan ikut mempengaruhi kinerja emiten-emiten pelayaran, terutama dalam biaya bahan bakar.
Dalam catatan Kontan, harga minyak sempat naik 1% pada hari Kamis (2/11). Selera risiko kembali ke pasar keuangan setelah The Fed mempertahankan suku bunga acuannya.
Melansir Reuters, harga minyak mentah Brent naik 91 sen atau 1,08% pada US$85,54 per barel pada pukul 1250 GMT. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) naik 83 sen atau 1,03% menjadi US$ 81,27 per barel.
Meskipun pada Rabu (08/11) harga minyak dunia tergelincir akibat perpaduan kekhawatiran tentang permintaan global yang melampaui dampak dari pemangkasan pasokan. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) turun lebih dari 4% menjadi di bawah US$ 78 per barel, mencapai level terendah sejak 25 Agustus.
Carmelita mengatakan, terkait fenomena ini, sekarang harusnya belum berpengaruh besar pada kinerja emiten karena harga minyak dalam negeri masih stabil.
“BBM subsidi juga tidak ada kenaikan bahkan ada penurunan pada yg non subsidi. Karena impor minyak mentah kita memang dari Afrika,” katanya.
Lebih lanjut, ia menambahkan namun harga bunker yang naik akan menjadi salah satu tantangan pelaku usaha pelayaran, sebab akan berpengaruh pada kenaikan biaya operasional pelayaran, karena bahan bakar merupakan salah satu beban biaya terbesar pada kegiatan operasional pelayaran.
“Yang pasti biaya bahan bakar itu mencapai 40%-50% terhadap total biaya operasional pelayaran,” katanya.
Senada dengan INSA, Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk (SMDR) Bani Maulana Mulia mengatakan kenaikan bahan bakar di tahun 2023 masih jauh lebih kecil dibandingkan kenaikan di tahun 2022.
“Sampai dengan November 2023 ini, apabila dibandingkan dengan tahun 2022, maka seluruh biaya pemakaian bahan bakar kami di SMDR masih tetap lebih efisien, 2023 lebih rendah dibandingkan 2022 dengan rata-rata 2023 lebih rendah di kisaran 15-25%,” ungkap Bani saat dihubungi Kontan, Rabu (8/11).
Ia menambahkan selain dari faktor harga, konsumsi bahan bakar kapal-kapal perseroan juga lebih rendah dibandingkan tahun 2022. Sehingga konsumsi atau pemakaian bahan bakar bisa lebih efisien di kisaran 10-60% dibandingkan tahun 2022.
Direktur PT Trans Power Marine Tbk (TPMA) Rudy Sutiono juga mengatakan kenaikan harga minyak dunia tidak berpengaruh pada kenaikan cost perseroan hingga kuartal-3 tahun ini.
“Kenaikan bahan bakar tidak pengaruh ke TPMA karena kita pass thru ke customer,” ungkapnya.
Baca Juga: Pengiriman Kontainer Menyusut, Maersk Siap PHK 10.000 Pekerja
Ditambah pula dengan pernyataan dari Direktur PT Buana Lintas Lautan Tbk (BULL) Kevin Wong, dimana perseroannya telah menerapkan tarif sewa mencakup harga bahan bakar.
“Penetapan tarif sewa mencakup biaya operasional termasuk biaya BBM, jadi pergerakan biaya BBM kami sudah terkompensasi,” ungkapnya.
Melihat kenaikan harga minyak dunia yang sepertinya tak berpengaruh besar pada biaya operasional beberapa emiten pelayaran, Carmelita menambahkan asosiasi memandang optimistis kinerja sektor pelayaran Indonesia hingga tutup tahun.
“Banyak peluang yang bisa ditangkap, misalnya pada angkutan raw material ke smelter-smelter sebagai dampak positif dari hilirisasi, begitu juga dengan pertumbuhan angkutan untuk pembangunan IKN,” katanya.
Ia juga menambahkan untuk menangkap kesempatan ini, perusahaan pelayaran juga bisa mengalokasikan anggaran belanja (capex) lebih besar untuk tambah armada.
“Kita lihat, kinerja emiten-emiten pelayaran juga cukup bagus pasca Covid-19, karena daya beli masyarakat yang sudah meningkat,” tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News