kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.502.000   11.000   0,44%
  • USD/IDR 16.794   37,00   0,22%
  • IDX 8.646   36,29   0,42%
  • KOMPAS100 1.197   8,91   0,75%
  • LQ45 860   6,19   0,73%
  • ISSI 309   1,58   0,51%
  • IDX30 440   1,54   0,35%
  • IDXHIDIV20 513   2,02   0,39%
  • IDX80 134   0,88   0,66%
  • IDXV30 138   -0,07   -0,05%
  • IDXQ30 141   0,83   0,59%

Kejar Target Emisi, PLTN Disebut Paling Masuk Akal Gantikan Batu Bara


Senin, 22 Desember 2025 / 17:14 WIB
Kejar Target Emisi, PLTN Disebut Paling Masuk Akal Gantikan Batu Bara
ILUSTRASI. Aktivitas perawatan SUTET (KONTAN/Cheppy A. Muchlis) Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan strategis.


Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTAKonsultan Nuklir PT Xpert Synergy Solution, Bob S. Effendi, menegaskan bahwa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia bukan lagi sekadar opsi, melainkan kebutuhan strategis. Urgensi ini muncul seiring komitmen Indonesia menurunkan emisi karbon dan ketergantungan yang masih sangat tinggi terhadap batu bara.

“Kalau Indonesia serius menekan emisi, maka cepat atau lambat batu bara harus dipensiunkan. Masalahnya, hampir 75% ketenagalistrikan dan ekonomi kita ditopang oleh batu bara. Pertanyaannya sederhana: kalau batu bara dihentikan, penggantinya apa?” ujar Bob kepada Kontan, Jumat (22/12/2025).

Menurutnya, menggantikan batu bara tidak bisa sembarangan. Pembangkit pengganti harus memenuhi tiga kriteria utama agar sistem kelistrikan nasional tetap andal dan terjangkau.

Baca Juga: Fasilitas Fraksionasi Plasma Pertama di Indonesia Akan Beroperasi Akhir 2026

Bob menjelaskan, kriteria pertama adalah kemampuan beroperasi 24 jam tanpa bergantung cuaca atau baseload. Pembangkit berbasis cuaca seperti tenaga surya (PLTS) dan angin (PLTB) tidak mampu memenuhi fungsi ini karena sangat bergantung kondisi alam.

“Kita tidak bisa menjamin besok matahari bersinar atau angin bertiup. Sistem kelistrikan nasional butuh kepastian pasokan,” tegasnya.

Kriteria yang kedua, pembangkit listrik idealnya berada dekat dengan kota-kota besar, seperti Jakarta atau Surabaya, agar distribusi listrik lebih efisien dan biaya transmisi rendah. Sebaliknya, sebagian besar pembangkit bersih membutuhkan lahan luas dan biasanya dibangun jauh dari perkotaan.

Kriteria ketiga adalah biaya listrik yang terjangkau. Bob mengingatkan, komponen energi menyumbang sekitar 30% dari biaya produksi barang dan jasa.

“Dari semua energi yang sekarang digadang-gadang kecuali nuklir, tidak bisa memenuhi tiga kriteria itu. Itulah kenapa harus nuklir,” katanya.

Selain mendukung transisi energi rendah karbon, PLTN juga dinilai krusial bagi ketahanan energi nasional (energy security). Saat ini, ketahanan energi PLTU batu bara sangat terbatas karena bergantung pada stok harian.

“Batu bara itu bisa disimpan paling aman sekitar 21 hari. Kita pernah hampir krisis listrik sekitar tahun 2022 lalu ketika stok batu bara tinggal lima hari,” ungkap Bob, merujuk krisis pasokan beberapa tahun lalu.

Berbeda dengan PLTU, PLTN hanya membutuhkan pengisian bahan bakar dalam jangka waktu sangat panjang.

“Sekali bahan bakar nuklir dimasukkan, PLTN bisa beroperasi dua, tiga, bahkan lima tahun tanpa penggantian. Jadi kita tidak lagi bicara hari atau minggu, tapi tahun. Dari sisi keamanan energi, PLTN itu yang paling aman,” jelasnya.

Bob juga menekankan Indonesia memiliki cadangan uranium dan torium yang besar, sehingga PLTN berpotensi memperkuat kemandirian energi jangka panjang hingga ratusan bahkan ribuan tahun.

Progres PLTN di Indonesia

Baca Juga: Moratorium Izin Properti di Jabar Tak Ganggu Proyek Perdana Gapuraprima (GPRA)

Dari sisi kebijakan, Bob menyebut pemerintah saat ini tengah menyiapkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk membentuk Nuclear Energy Program Implementation Organization (NEPIO), badan pelaksana pembangunan PLTN yang diamanatkan oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA).

“NEPIO ini akan mengoordinasikan seluruh kementerian dan lembaga terkait, seperti Kementerian ESDM, PLN, BAPETEN, PU, dan seterusnya, di bawah satu komando,” katanya.

Ia menambahkan, pembentukan badan ini sejatinya ditargetkan selesai sebelum akhir tahun. Namun, kemungkinan besar agenda tersebut tertunda akibat bencana di Sumatra. 

“Saya rasa ini bukan prioritas utama pemerintah saat ini,” kata Bob.

Ia menegaskan pembentukan NEPIO harus dilakukan tahun depan jika target pengoperasian PLTN pada 2032 ingin tercapai. 

Setelah badan ini terbentuk, pemerintah harus segera menetapkan lokasi, teknologi, pengembang, tarif listrik, dan skema pendanaan.

Menurut Bob sampai saat ini tarif PLTN dan pendanaan belum juga jelas.

“Jadi memang ada beberapa ketidakjelasan yang membuat banyak developer itu, perusahaan-perusahaan yang berminat. Itu sampai saat ini juga masih bertanya-tanya,” kata Bob.

Dalam RUPTL, Sumatra dan Kalimantan tercantum sebagai kandidat wilayah PLTN. Di Sumatra, Bangka Belitung menjadi lokasi paling matang karena telah disurvei secara ekstensif.

“Di Bangka ada tiga lokasi yang sudah disurvei, yakni Tanjung Ular, Sebagin, dan Pulau Gelasa. Secara geologi, Bangka itu aman dan visibel,” ujarnya.

Sementara Kalimantan dinilai sangat aman secara geologi, namun permintaan listriknya masih relatif kecil.

Teknologi Teruji dan Penerimaan Publik

Baca Juga: Asosiasi Pengusaha dan Pengelola Dapur MBG Jalin Kemintraan dengan Morefood Expo

Bob menegaskan, PLTN pertama Indonesia harus dibangun oleh perusahaan dengan teknologi yang sudah terbukti dan beroperasi secara komersial. Saat ini, Rusia dan China dinilai paling aktif menjalin komunikasi dengan Indonesia.

Terkait kekhawatiran masyarakat, Bob menyebut isu keselamatan dan limbah lebih banyak dipicu oleh persepsi, bukan fakta.

“PLTN itu yang paling aman, kalau dilihat dari statistik kematian per terawatt-hour, PLTN adalah salah satu yang paling aman di dunia setelah energi solar/matahari. Bahkan diawasi ketat oleh komunitas internasional melalui IAEA,” katanya.

Ia juga mengutip survei BATAN dan sejumlah lembaga independen yang menunjukkan lebih dari 70% masyarakat Indonesia menerima PLTN.

“Perdebatan soal aman atau tidak sudah berlangsung hampir 40 tahun. Sekarang pemerintah sudah memutuskan. Diskusinya seharusnya bergeser ke edukasi publik, bukan lagi menakut-nakuti,” pungkas Bob.

Mengenai isu limbah, Bob menekankan bahwa limbah PLTN atau spent fuel berbeda dengan limbah industri biasa. Limbah ini masih bisa digunakan kembali sebagai bahan bakar, namun penggunaannya diatur ketat karena potensi proliferasi, seperti bahan plutonium yang bisa menjadi senjata nuklir.

“Limbah PLTN diawasi ketat, tidak hanya oleh BAPETEN tetapi juga oleh komunitas internasional,” ujar Bob.

Bob menambahkan, persoalan utama bukan limbah, melainkan lokasi penyimpanan. Mengingat Indonesia memiliki banyak pulau kecil yang tidak berpenghuni, limbah bisa ditempatkan dengan aman menggunakan teknologi penyimpanan modern.

Baca Juga: ESDM Buka Lelang 8 Blok Migas di Sumatra hingga Papua

Selanjutnya: Sambut Natal, Nojorono Kudus Berbagi Kasih ke Panti Asuhan dan Wredha

Menarik Dibaca: 13 Manfaat Jalan Kaki bagi Kesehatan Tubuh, Bisa Memperpanjang Umur!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×