Reporter: Nina Dwiantika | Editor: Nina Dwiantika
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Di tengah kebijakan larangan impor beras sejak awal tahun 2025, Pemerintah kembali menghadapi persoalan terkait komoditas pangan setelah 250 ton beras asal Thailand ditemukan masuk melalui Pelabuhan Sabang. Beras tersebut masuk memanfaatkan status Sabang sebagai kawasan perdagangan bebas, yang memungkinkan arus barang masuk dengan kelonggaran tertentu. Namun, menurut ketentuan pemerintah pusat, setiap pemasukan beras tetap harus mengikuti kebijakan nasional.
Secara hukum, pengelolaan kawasan Sabang mengacu pada UU No. 37 Tahun 2000 yang menetapkan wilayah tersebut sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Status ini memisahkan Sabang dari daerah pabean Indonesia untuk mendorong aktivitas ekonomi. PP No. 41 Tahun 2021 juga memberikan kewenangan penuh kepada Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) dalam pengelolaan wilayah.
Wakil Ketua Umum Koordinator Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN), Erwin Aksa menilai, bahwa penentuan suatu barang sebagai ilegal berada pada ranah penegak hukum. Pemerintah pusat telah menyatakan bahwa pemasukan beras tersebut merupakan impor ilegal karena tidak memiliki izin dan bertentangan dengan kebijakan nasional.
Namun, menurut otoritas kawasan bebas, pemasukan barang ke Sabang dapat dianggap sah selama digunakan untuk konsumsi di dalam kawasan dan tidak memasuki wilayah pabean Indonesia. “Perbedaan interpretasi ini menunjukkan adanya disharmoni regulasi antara aturan kawasan bebas dan kebijakan pangan nasional,” terang Erwin kepada KONTAN, belum lama ini.
Baca Juga: Surplus Beras Capai 3,87 Juta Ton, Peluang Tekan Harga Terbuka
Erwin menjelaskan, bahwa kawasan perdagangan bebas bukan berarti bebas dari seluruh aturan nasional. Komoditas strategis seperti beras tetap dapat diatur secara khusus oleh pemerintah pusat meskipun berada di zona bebas. Ia menilai bahwa kebijakan nasional zero impor beras dapat membuat setiap pemasukan beras, termasuk ke kawasan bebas, tetap dianggap harus selaras dengan kebijakan pusat. Di sisi lain, BPKS berpendapat bahwa kebutuhan lokal Sabang dapat dipenuhi melalui skema kawasan bebas selama tidak mempengaruhi pasar nasional. Perbedaan inilah yang menciptakan area abu-abu dalam penerapan aturan.
Menurut Erwin, KADIN mendukung penegakan hukum apabila ditemukan pelanggaran atau penghindaran terhadap kebijakan nasional. Ia menekankan pentingnya perlindungan bagi pelaku usaha yang mematuhi aturan, termasuk petani, Bulog, dan distributor resmi. Ia juga menilai bahwa tumpang tindih antara aturan kawasan perdagangan bebas dan kebijakan pangan nasional perlu segera diselesaikan agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum. KADIN mendorong adanya kebijakan satu pintu untuk komoditas pangan strategis agar ketentuan antara pemerintah pusat dan kawasan bebas selaras dan tidak saling bertentangan.
Erwin merangkum pandangannya bahwa perbedaan pandangan mengenai legalitas pemasukan beras ke Sabang menunjukkan perlunya harmonisasi regulasi. Ia menegaskan pentingnya adanya peta aturan yang jelas agar pelaku usaha tidak terjebak dalam wilayah abu-abu dan dapat beroperasi dengan kepastian hukum yang memadai.
Baca Juga: Surplus 3,87 Juta Ton, Harga Beras Masih Tertahan
Selanjutnya: Trump Jalani Pemeriksaan MRI, Gedung Putih Jelaskan Hasil dan Kondisi Kesehatannya
Menarik Dibaca: 6 Film Romantis Tentang Hubungan Friendzone, Rumit tapi Bikin Baper
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News












