kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ini Tujuan Pemerintah Kenakan Pajak Progresif Ekspor NPI dan Feronikel


Minggu, 23 Januari 2022 / 18:21 WIB
Ini Tujuan Pemerintah Kenakan Pajak Progresif Ekspor NPI dan Feronikel
ILUSTRASI. Pertambangan nikel


Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto

Menurutnya, pemerintah harus adil dan berimbang dalam hal ini. Jangan sampai ketika harga nikel jatuh di nilai yang tidak ekonomis, pemerintah diam-diam saja dan tidak memberikan bantuan apapun, namun pada saat harga tinggi pemerintah hadir untuk mengenakan pajak ekspor.

Maka dari itu, Rizal mengusulkan, perlu dibuat persyaratan-persyaratan atas pengenaan pajak itu. Misalnya, pajak ekspor dikenakan jika harga nikel selama 3 bulan berturut-turut, mencapai harga US$ 20.000/ton. Selain itu, pajak ekspor tersebut dikenakan bagi perusahaan yang telah beroperasi selama 3 tahun.

Sebelumnya, Djoko Widajatno, Executive Director Indonesian Mining Association (IMA) menilai pungutan pajak ekspor ini adil karena smelter tidak membayar royalti dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) lainnya.

Sedangkan penambangnya wajib membayar Pajak Penghasilan (PPh) Badan Usaha, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), royalti, jaminan reklamasi, serta jaminan pasca-tambang. "Tujuannya adalah menegakkan keadilan dalam kebijakan fiskal," jelasnya.

Menurutnya, setelah diatur kewajiban untuk memenuhi smelter dan ekspor bijih nikel dilarang, maka kebijakan pungutan ekspor progresif ini tidak akan berdampak pada pasokan nikel ke dalam negeri.

Namun, Djoko menilai bahwa pengenaan pajak ini berpotensi membuat pengusaha menjadi enggan membangun smelter.

Di lain pihak, Ketua Umum  Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Prihadi Santoso mengatakan bahwa  dalam jangka pendek akan mengurangi minat pembangunan smelter di Tanah Air.

"Namun, dalam jangka menengah dan panjang bila pemerintah konsisten akan memicu gairah pembangunan smelter," kata Prihadi.

Baca Juga: Kementerian ESDM Rancang Omnibuslaw Minerba untuk Memacu investasi Sektor Minerba

Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mendukung, pungutan pajak ekspor untuk kedua komoditas nikel ini supaya negara bisa mendapatkan value added dari industri pengolahan mineral.

Meidy menerangkan, jika ditarik ke belakang pada saat dahulu Kementerian ESDM mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan/atau pemurnian (IUP OPK Olah Murni) untuk pabrik atau smelter, output nikel dibebankan bea keluar.

Namun, pada saat ditarik ke produk perindustrian dengan Izin Usaha Industri (IUI) bea keluarnya dibebaskan.

"Dalam hal ini apa yang didapatkan negara? Tidak ada. Kami miris di mana produk nikel misalnya saja nikel pig iron atau feronikel yang diekspor ke China itu dibebankan bea masuk sekitar 15%. Masa di kita gratis tetapi di sana terima 15% padahal mereka tidak produksi, tentu tidak fair," ujarnya.

Meidy berpesan semua produk terutama olahan  mineral nikel harus memberikan kontribusi pada penerimaan negara. "Supaya negara mendapatkan value aded dari industri pengolahan mineral," kata Meidy.

Menurut Meidy, meskipun smelter membutuhkan investasi yang besar, di saat tren harga nikel yang sangat tinggi, produsen nikel mendapatkan untung yang besar. "Tentu nanti hasil pungutan tersebut untuk negara dan membangun daerah sehingga dari APNI sangat mendukung," tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×