Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Yudho Winarto
Seiring pengenaan pajak progresif, Seto mengungkapkan, kebijakan lain yang akan diterapkan adalah meniadakan pemberian tax holiday bagi perusahaan yang mengajukan izin baru untuk membangun smelter pig iron dan feronikel.
Sejatinya, tujuan insentif tax holiday adalah untuk industri pionir dan mendorong masuknya investasi sebanyak mungkin di Indonesia.
Namun, dengan kondisi kapasitas smelter pig iron dan feronikel sudah sangat besar dan investasi yang masuk juga sangat banyak maka kedua jenis nikel tersebut sudah tidak bisa dikategorikan lagi sebagai industri pelopor.
Seto tidak menampik, kedua kebijakan ini akan menahan investasi smelter pig iron dan feronikel yang baru ke depannya.
"Kami sudah hitung keekonomiannya, kami kira nilai keekonomiannya masih masuk hanya saja (investor) akan lebih hati-hati saja karena berpikir tidak dapat tax holiday dan akan bayar pajak ekspor juga. Namun, investasi secara keseluruhan belum tentu berkurang," tegasnya.
Kendati demikian, Seto mengungkapkan, saat ini sudah ada 18 smelter yang beroperasi yang tidak menikmati tax holiday dan masih bisa untung. Adapun bagi keekonomian eksisting, pengenaan pajak progresif diproyeksikan tidak akan berdampak signifikan.
Seto berharap dengan kebijakan ini, pelaku usaha akan memilih mengolah nikel di dalam negeri menjadi produk yang bernilai tambah lebih tinggi dibanding langsung mengekspornya. Pemerintah optimistis karena roadmap hilirisasi nikel sudah terlihat jelas mulai dari investasi yang akan masuk hingga hasil produknya.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengusulkan, pengenaan pajak ekspor progresif tidak dikenakan berdasarkan jenis produk yang dihasilkan, misalnya nikel pig iron atau feronikel. Namun, pajak ekspor tersebut dikenakan bagi pabrik pengolahan yang bahan bakunya adalah nikel tipe saprolite, yakni pabrik berteknologi pryrometalurgy.
Baca Juga: Belum Usai, Aliran Investasi untuk Industri Nikel Masih Mengalir
"Artinya, produk nikel dalam bentuk nikel matte misalnya, yang juga menggunakan bahan baku nikel saprolite, semestinya juga dikenakan pajak ekspor tersebut, seperti halnya NPI dan Ferronickel," jelasnya saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (23/1).
Rizal menjelaskan, pabrik pengolahan nikel termasuk yang berteknologi pryrometalurgy mempunyai nilai investasi yang cukup mahal, dengan resiko investasi yang cukup besar. Sementara di satu sisi, harga nikel di pasar global, memiliki tingkat volatilitas yang cukup tinggi.
Mengacu pada harga nikel dalam 5 tahun terakhir yang berlaku di London Metal Exchange, harga nikel berkisar dari US$ 10.000 hingga US$ 20.000 per ton.
Secara keekonomian, pabrik pengolahan nikel dengan sistem peleburan, umumnya dinyatakan menguntungkan serta investasi terjamin, jika harga nikel berkisar di angka US$ 15.000 per ton.
Artinya, jika harga nikel jatuh di bawah angka US$ 15.000/ton, maka risiko investasinya cukup tinggi. Dalam kondisi tersebut, lanjut Rizal, perusahaan terpaksa menanggung risikonya, tanpa adanya "intervensi" atau "bantuan" dari Pemerintah.
"Nah, karena itu, pemerintah tidak dapat serta merta mengenakan pajak ekspor terhadap produk nikel yang bahannya berasal dari nikel tipe saprolite, jika harga nikel di pasar dunia tidak mencapai level harga yang ekonomis," kata Rizal.