Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa menyampaikan, untuk konteks Indonesia, transisi menuju sistem energi bersih yang berkelanjutan perlu disiapkan dengan baik. Pemanfaatan energi terbarukan yang memang sudah menjadi prioritas pengembangan dan pemanfaatan energi nasional dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), belum terefleksikan dalam pencapaian RUEN hingga 2020.
Terlepas dari target yang ambisius, beberapa indikator dan asumsi yang digunakan untuk memodelkan permintaan dan penawaran energi dalam RUEN pun dibangun berdasarkan basis data dan informasi di tahun 2015.
“Padahal, dalam lima tahun terakhir ini indikator dan asumsi dari sosio-ekonomi, tekno-ekonomi sudah mengalami perkembangan yang cukup signifikan,” tutur Fabby dalam siaran pers yang diterima Kontan, Rabu (30/9).
Merujuk kepada RUEN, di tahun 2025 energi terbarukan diproyeksikan meningkat dari 7% menjadi 23%, batubara dari 26% menjadi 30%, bahan bakar minyak (BBM) turun dari 46% menjadi 25%, dan gas relatif turun menjadi 22% dari sebelumnya 23% dalam bauran energi primer nasional.
Baca Juga: Percepat pemanfaatan PLTA, pemerintah terapkan program REBID
Berdasarkan target tersebut, pembangkit listrik energi terbarukan di tahun 2025 mencapai 45,2 GW dengan komposisi 20,9 GW dari air, 7,2 GW dari panas bumi, 6,5 GW dari surya, 5,5 GW dari bioenergi, dan 1.8 GW dari bayu atau angina.
Fabby menambahkan, dengan melihat tren dekarbonisasi yang masif terjadi di tingkat global dan regional, IESR berupaya untuk menginvestigasi kontekstualisasi dari model RUEN, sebagai referensi perencanaan dan pembangunan energi nasional jangka menengah dan panjang.
“Hal ini guna mengakomodasikan tidak hanya kemajuan dan perkembangan transisi yang terjadi, melainkan juga untuk mengantisipasi berbagai tantangan dan peluang yang muncul dalam transformasi ini,” ungkap dia.
Penulis laporan RUEN – Existing Plan, Current Policies, and Energy Transition Scenario Agus Praditya Tampubolon menyebut, target kapasitas terpasang dari energi terbarukan sebesar 45,2 GW di tahun 2025 diindikasikan tidak akan tercapai dalam skenario realisasi dengan berbagai penurunan nilai parameter dan asumsi utama yang terjadi dalam lima tahun terakhir.
Kondisi tersebut disebabkan oleh realisasi dari laju pertumbuhan konsumsi energi tahunan dan konsumsi listrik per kapita yang rendah sebagai akibat dari rendahnya pertumbuhan ekonomi pada periode 2015-2019.
Menurut Agus, RUEN yang ditetapkan di tahun 2017 menggunakan data riil tahun 2000 hingga tahun 2015 sebagai input dan penopang proyeksi data dari tahun 2016-2050. Beberapa data proyeksi ini dinilai overestimated, terutama pada pertumbuhan ekonomi dan industri serta demografi penduduk di Indonesia.
Akibatnya, proyeksi RUEN menjadi tidak proporsional, misalnya pada konsumsi energi primer dan listrik, termasuk pada kapasitas pembangkit. “Sehingga skenario realisasi menunjukkan bahwa energi terbarukan hanya diindikasikan mencapai 22,62 GW di tahun 2025,” imbuh dia.