Reporter: Asnil Bambani Amri, Gentur Putro Jati, Femi Adi Soempeno |
JAKARTA. Departemen Kesehatan Taiwan menyatakan produk mi instan Indonesia mengandung zat pengawet E218 (Methyl P-Hydroxybenzoate) yang seharusnya digunakan untuk bahan kosmetik dan kecantikan. Kandungan ini ditemui dalam mi instan yang diproduksi oleh PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).
"Produk yang kami ekspor ke Taiwan sudah memenuhi peraturan Departemen Kesehatan Biro Keamanan Makanan Taiwan. Jadi kami meyakini bahwa produk yang dimaksud bukan produk mie instan ICBP yang ditujukan untuk pasar Taiwan," jelas Direktur ICBP Taufik Wiraatmadja dalam siaran persnya, Senin (11/10).
Dengan pengalaman mengekspor mie instan selama lebih dari 20 tahun, Taufik menjamin seluruh produk buatannya sudah memenuhi peraturan dan ketentuan keselamatan makanan yang berlaku di negara dimana produk itu dijual. "Produk kami sudah memenuhi CODEX Alimentarius Commission, badan internasional yang mengatur standar makanan," jelasnya.
ICBP akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi kepentingan konsumennya disana dan berbagai negara lainnya.
Atas kasus ini, Komisi VI DPR RI pun meminta klarifikasi dari Kementerian Perdagangan (Kemdag). "Kami meminta klarifikasi dari atase perdagangan menganai pelarangan masuk mie instan ke Taiwan," kata Mirati Dewaningsih dari Fraksi PKB saat melakukan rapat kerja dengan Kemdag; yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal Ardiansyah Parman didamping oleh seluruh atase perdagangan dan kepala Indonesian Trade Promotion Center (ITPC) dari seluruh negara, hari ini.
Tak jual mi instan lagi
Bambang Mulyatno, Kepala Bidang Perdagangan, Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taipei disela-sela rapat kerja di komisi VI DRP RI di Jakarta, hari ini menguraikan kisruhnya mi instan Indonesia di Taiwan. Menurutnya, temuan pemerintah Taiwan ini mengindikasikan adanya persaingan pasar mi instan di negara itu. Pasalnya, mi instan dari Indonesia mengalami kenaikan ekspor karena jumlah konsumsinya yang meningkat.
“Bayangkan konsumennya saja dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) bisa mencapai 150.000 orang, belum termasuk orang-orang yang ada disekitarnya,” kata Bambang.
Konsumsi mi instan dari Indonesia tersebut mengalami peningkatan karena citarasanya yang gurih; berbeda dengan mi instan lain yang jamak ditemui di Taiwan. Sayangnya, ia tidak memerinci peningkatan konsumsi tersebut.
Nah, naiknya konsumsi mie instan dari Indonesia itulah yang membuat industri mi instan yang ada di Taiwan gerah. Sehingga, asumsi Bambang, motif persaingan bisnis menimbulkan adanya penolakan mi instan Indofood. “Toko-toko disana sekarang tidak berani menjual mi instan Indofood,” ujarnya.
Namun, Bambang mencatat, mi instan yang ditemukan mengandung pengawet tersebut biasanya hanya beredar di Indonesia. Kasus ini bahkan sudah diketahui sejak 4 bulan lalu dan pihak Indofood disebut sudah pernah datang ke Taiwan untuk mengklarifikasi kasus tersebut.
Menurut Bambang, produk mi instan yang ditemukan mengandung bahan kimia tersebut hanya beredar di Indonesia. Sedangkan untuk pasar Taiwan, Indofood memproduksi produk yang berbeda. Sementara, standar kesehatan makanan Taiwan tersebut berbeda dengan standar makanan yang dikonsumsi di Indonesia.
Hanya saja, Bambang mengaku tidak mengetahui secara detil asal pasokan mi instan itu. Pasalnya, ekspor mi itu tidak harus dilakukan oleh produsen saja tetapi bisa dilakukan oleh pedagang yang biasa melakukan ekspor ke Taiwan. “Sementara dari segi harga saja sudah berbeda, mi yang biasa beredar di Indonesia itu lebih murah dijual dipasar Taiwan,” ungkap Bambang.
Bukan hanya mi instan saja
Produk Indonesia yang ditemukan 'bermasalah' di Taiwan lantaran mengandung bahan pengawet itu bukan hanya mi instan saja, tetapi juga gula merah dan permen merek tertentu.
“Untuk gula merah ditemukan mengandung pemutih, sehingga tidak bisa masuk Tiawan,” kata Bambang. Sementara itu, untuk permen, pemerintah Taiwan juga menemukan adanya bahan berbahaya yang tidak bisa dikonsumsi oleh masyarakat Taiwan.
Temuan kandungan pemutih pada gula merah dan permen yang bermasalah tersebut pernah terjadi sebelumnya. Langkah penyelesaiannya, kedua negara tengah melangsungkan tahap konsultasi. “Mereka (otoritas berwenang Taiwan) sudah kirim pertanyaan dan juga sudah kami jawab, baru sebatas tanya jawab seperti ini yang dilakukan,” jelas Bambang.
Untuk menghadapi tudingan Taiwan ini, Bambang mengimbau produsen makanan dan minuman agar merapatkan barisan. Selain itu, ia juga meminta agar pelaku usaha pro-aktif dan mau saling bekerja sama untuk menyelesaikan kasus temuan bahan berbahaya pada makanan yang di ekspor ke Taiwan tersebut.
“Dibutuhkan keseriusan termasuk produsen dan asosiasi juga serta pihak yang berkompeten untuk menindaklanjutinya,” pinta Bambang.
Siap protes
Pelaksana Harian (PLH) Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Deddy Shaleh siap memprotes pemerintah Taiwan bila penolakan mie instan dari Indonesia tidak memiliki alasan yang sesuai dengan aturan perdagangan.
“Kalau tidak sesuai (aturan perdagangan internasional) maka akan kami protes,” jelas Deddy disela-sela rapat kerja dengan angggota Komisi VI DFPR RI, hari ini.
Deddy menyebutkan, produk makanan ditolak di sebuah negara merupakan hal yang biasa; tergantung dari standar mutu dan kesehatan dari negara ekspor yang dituju. Menurutnya, masalah serupa sering terjadi saat produk makanan Indonesia masuk ke Australia. “Mungkin ada bahan kimia yang terkandung didalamnya yang tidak diperbolehkan,” ungkap Deddy.
Namun, Deddy menjelaskan, pihaknya belum mengantongi kebenaran dari informasi penolakan Taiwan itu. “Nanti kami akan klarifikasi dulu dari badan otoritas yang ada di Taiwan, seperti apa tuduhan tersebut,” jelas Deddy.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) pun tak tinggal diam. Kustantinah, Kepala BPOM, melalui rilis yang diterima KONTAN menjelaskan, di Indonesia, penetapan regulasi dan persyaratan keamanan, mutu dan gizi produk pangan olahan mengacu pada persyaratan internasional, yaitu Codex Allmentarius Commision (CAC) dan berdasarkan kajian risiko.
Di Indonesia, penggunaan bahan tambahan pangan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan Tambahan Makanan. Nah, salah satu yang diatur adalah nipagin alias methyl phydroxybenzoate yang berfungsi sebagai pengawet dengan batas maksimum penggunaan. Untuk kecap, batas maksimum penggunaan yang diizinkan adalah 250 mg/kg.
BPOM menegaskan, pihaknya secara periodik melakukan sampling dan pengujian produk pangan yang beredar di pasaran, termasuk mi instan. "Hasil pengujian lima tahun terakhir terhadap kecap yang ada dalam produk kecap yang ada dalam produk mi instan, tidak ditemukan adanya kandungan nipagin yang melebihi batas maksimum yang diijinkan," kata Kustantinah.
Kustantinah membandingkan, dari kajian persyaratan di beberapa negara seperti Kanada, AS, natas maksimum penggunaan nipagin dalam pangan yang diijinkan adalah 1000 mg/kg; sedangkan di Singapura dan Brunei Darussalam, batas maksimum penggunaan dalam kecap 250 mg/kg dan Hong Kong sebesar 550 mg/kg. "Dengan demikian, produk mi instan yang terdaftar di Indonesia dinyatakan aman untuk dikonsumsi," tegas Kustantinah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News