kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.965.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.830   0,00   0,00%
  • IDX 6.438   38,22   0,60%
  • KOMPAS100 926   8,20   0,89%
  • LQ45 723   5,45   0,76%
  • ISSI 205   2,17   1,07%
  • IDX30 376   1,61   0,43%
  • IDXHIDIV20 454   0,42   0,09%
  • IDX80 105   1,01   0,98%
  • IDXV30 111   0,45   0,40%
  • IDXQ30 123   0,28   0,22%

INSA: Transisi Energi di Sektor Pelayaran Butuh Insentif dan Infrastruktur Memadai


Kamis, 17 April 2025 / 22:29 WIB
INSA: Transisi Energi di Sektor Pelayaran Butuh Insentif dan Infrastruktur Memadai
ILUSTRASI. Industri pelayaran global tengah bersiap menghadapi aturan baru dari Organisasi Maritim Internasional (IMO) . ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/aww.


Reporter: Muhammad Alief Andri | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri pelayaran global tengah bersiap menghadapi aturan baru dari Organisasi Maritim Internasional (IMO) yang akan menerapkan pungutan karbon mulai tahun 2028.

Kebijakan ini mewajibkan kapal-kapal yang melebihi ambang batas emisi karbon untuk membayar denda hingga US$380 per ton karbon dioksida. Indonesia sebagai negara anggota IMO pun harus bersiap menyesuaikan kebijakan tersebut di dalam negeri.

Ketua Umum Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), Carmelita Hartoto, menyatakan dukungannya terhadap upaya dekarbonisasi industri pelayaran.

“Pajak karbon merupakan hasil kesepakatan internasional yang perlu kita hormati. INSA mendukung penuh peraturan IMO ini, yang juga sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia,” ujar Carmelita kepada Kontan, Kamis (17/4).

Baca Juga: Optimistis Pasar Pesiar Asia Tenggara Tumbuh, Ini Pelayaran Baru dari Jakarta

Namun, ia menekankan pentingnya kebijakan tersebut memberikan manfaat nyata bagi negara berkembang. “Pemerintah harus memastikan dana pungutan karbon ini masuk ke negara tujuan kapal dan dialokasikan sebagai green incentive untuk pemilik kapal lokal, seperti Indonesia,” katanya.

Kebijakan ini, lanjut Carmelita, tidak akan langsung berdampak pada kapal-kapal Indonesia yang berlayar di dalam negeri. “Bukan karena ukuran kapalnya di bawah 5.000 GT, tapi karena beroperasi secara domestik. Banyak juga kapal besar milik Indonesia yang tidak melintasi perairan internasional,” jelasnya.

Terkait peluang penggunaan biofuel, Carmelita mengatakan Indonesia perlu berhati-hati.

Baca Juga: Kebijakan Tarif Trump Memperparah Industri Pelayaran Laut Global

“Minyak kelapa sawit memang termasuk bahan bakar rendah emisi, tapi dari sisi teknis dan lingkungan, masih banyak tantangan seperti pengendapan di tangki dan dampak pada lahan pangan. Apalagi saat ini biofuel seperti B40 lebih cocok untuk kapal kecil dengan mesin RPM tinggi,” ujarnya.

INSA juga menyoroti tantangan besar dalam transisi energi ini, mulai dari pembaruan mesin kapal, kebutuhan infrastruktur pelabuhan, hingga keterbatasan pembiayaan.

“Harga satu kapal saja bisa ratusan miliar rupiah. Suku bunga tinggi dan tenor pinjaman pendek juga jadi kendala. Belum lagi tantangan memastikan ketersediaan bahan bakar baru secara berkelanjutan di seluruh pelabuhan,” imbuh Carmelita.

INSA berharap pemerintah tidak memperberat beban pelaku usaha dengan regulasi tambahan. “Kami berharap pemerintah bersikap fleksibel dan justru memberikan insentif seperti yang dilakukan China, di mana pemilik kapal diberi grant saat mengganti kapal konvensional dengan kapal rendah emisi,” tutupnya.

Selanjutnya: Soal Royalti Minerba, MIND ID: Kita Usulkan Revisi Harga Patokan Mineral

Menarik Dibaca: GoTo Impact Foundation Dampingi Magelang Setories Kembangkan Pertanian Regeneratif

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×