Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Investasi di sektor mineral dan batubara (minerba) dipatok stagnan untuk tahun ini. Direktorat Jenderal Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan investasi sepanjang tahun ini tak akan jauh dari target tahun lalu, yakni berada dikisaran US$ 6,2 miliar.
Direktur Jenderal Minerba Bambang Gatot Ariyono mengatakan, angka pasti untuk target investasi pada tahun ini belum ditetapkan, sebab masih menunggu pembahasan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) yang baru selesai pada akhir Januari nanti. Namun, ia memastikan targetnya tak jauh beda dari tahun lalu.
Alasannya, karena belum ada eksplorasi baru yang bernilai besar, sehingga polanya masih sama seperti tahun sebelumnya yang mengandalkan replacement dari belanja modal atau capital expenditure (capex) dari perusahaan.
"Tahun ini mirip-mirip saja, karena belum ada eksplorasi baru yang besar-besaran," kata Bambang dalam paparan kinerja subsektor minerba di Kantor Ditjen Minerba, pada Rabu (9/1).
Adapun, realisasi investasi minerba selama tahun 2018 mencapai US$ 6,8 miliar dari target US$ 6,2 miliar. Bambang mengatakan, investasi di subsektor minerba sangat ditentukan oleh rencana perusahaan. Seperti jika terjadi perubahan RKAB atau adanya penundaan operasional karena bermacam faktor, misal karena perizinan atau persoalan kontrak. "Ada beberapa variable, seperti perubahan rencana, atau perubahan karena izin atau kontrak," ujarnya.
Investasi pada tahun ini bisa saja melonjak, jika lelang wilayah tambang berhasil diselesaikan dan bisa terjadi eksplorasi tambang baru. Sayangnya, Bambang belum bisa memastikan kapan lelang wilayah tambang itu bisa rampung.
Bambang juga belum bisa memastikan akan ada berapa jumlah wilayah tambang yang dilelang pada tahun ini. Yang jelas, pihaknya akan melanjutkan lelang terhadap empat Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang belum laku pada tahun lalu.
Keempat WIUPK itu adalah blok tambang nikel Latao di Kolaka Utara dengan luas 3.148 ha, blok tambang nikel Suasua di Kolaka Utara seluas 5.899 ha, blok tambang nikel Kolonodale di Morowali Utara seluas 1.193 ha, dan blok tambang batubara di Bungo seluas 826 ha.
Selain itu, smelter pun menjadi komponen penting dalam menggerakkan industri dan investasi di subsektor mineral. Sepanjang tahun 2018, ada tambahan dua smelter nikel yang beroperasi, yakni dari PT Virtue Dragon (tahap 2) dan PT Bintang Smelter Indonesia (1 line).
Sehingga, sampai dengan tahun 2018, sudah ada 27 smelter yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun ini, Direktur Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak menargetkan, akan ada dua smelter baru yang siap beroperasi.
Yaitu smelter milik PT Aneka Tambang (Antam) di Buli, Halmahera, Maluku Utara yang bisa beroperasi sekitar bulan Juni, dan di Wanatiara, Pulau Obi yang diatrgetkan bisa beroperasi pada akhir tahun nanti. "Yang sudah pasti smelter Antam di Buli, beroperasi sekitar Juni, satu lagi mungkin bisa, mepet Desember," katanya.
Sepanjang 2018, produksi komoditas mineral tercatat berfluktuasi dibandingkan dengan tahun lalu. Ada yang melebihi, ada pula yang tak mencapai target.
Rinciannya, pada komoditas katoda tembaga, dari target 310.000 ton, realisasinya tercatat 233.099 turun dibanding tahun lalu yang ada di angka 245.368. Untuk komoditas emas, realisasi sebesar 126.110 kg, melebihi target yang dipatok 75.000 kg dan produksi tahun lalu yang sebesar 102.000 kg.
Sedangkan dalam komoditas perak, dari target 231.000 kg, realisasi produksi tercatat 285.290 kg, turun dari tahun lalu yang sebesar 329.000 kg. Untuk timah, realisasi produksi sebesar 81.426 ton, melebihi target yang dipatok di angka 50.000 ton, dan realisasi tahun lalu sebesar 78.070 ton.
Sementara untuk produk olahan nikel, realisasi produksi tahun ini sebesar 744.751 ton dari target 860.000 ton, dan turun dibanding produksi tahun lalu yang sebesar 856.761 ton. Lalu untuk nikel matte, dari target 80.000 ton, realisasi produksinya 73.566 ton, turun dari produski 2017 yang sebesar 78.007 ton.
Yunus mengatakan, turun atau naiknya realisasi produksi tidak signifikan, dan memiliki penyebabnya tersendiri. Seperti dalam produk olahan nikel, sebabnya adalah biaya bahan baku terutama kokas yang diperlukan untuk menghasilkan NPI tinggi, sehingga tahun 2018 perusahaan tidak dapat melakukan produksi NPI secara maksimal dan seluruh produski PT Sulawesi Mining Invesment telah dimurnikan menjadi stainless steel.
Sementara untuk nikel matte, realisasi dipengaruhi oleh produksi PT Vale Indonesia yang sempat terkendala operasional. "Timah meningkat harganya, membuat produksi naik, sedangkan kandungan emas dan perak termasuk yang dibayarkan pada kosnentrat tembaga PT FI dan PT AMNT," kata Yunus.
Adapun, untuk realisasi ekspor, Yunus merinci bahwa selama tahun 2018, ekspor konsentrat tembaga sebesar 3,15 juta wmt, konsentrat besi sebanyak 2,80 juta wmt, konsentrat pasir besi 52.421 wmt, konsentrat timbal dan seng 104.096 wmt, konsentrat mangan 8.249 wmt, lumpur anoda 2.258 wmt bijih nikel 24,33 juta wmt, dan washed bauxite 11,23 juta wmt.
Yunus mengatakan, secara umum, faktor yang mempengaruhi jumlah produksi dan rekomendasi ekspor adalah RKAB yang diajukan serta cadangan dan kapasitas produksi yang dimiliki perusahaan.
Yunus menilai, jika produksi dan realisasi ekspor tak mencapai target atau rekomendasi, maka hal tersebut bisa positif karena menghemat cadangan dan volume yang nantinya bisa diolah ketika smelter telah selesai dibangun. "Enggak masalah (kalau produksi dan ekspor tak sesaui target), supaya nanti pada saat smelter-nya jadi justru banyak konsentrat yang diolah," ungkapnya.
Untuk tahun ini, Yunus belum bisa memastikan berapa besaran target produksi atau kuota ekspor yang diberikan, sebab RKAB perusahaan masih belum rampung disetujui. Namun, Yunus melihat bahwa produksi dan ekspor untuk tahun ini akan mengalami kenaikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News