Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Azis Husaini
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Indonesian Resources Studies (IRESS) meminta pemerintah untuk segera membatalkan rencana revisi keenam Peraturan Pemerintah (PP) No.23Tahun 2010. Bahkan, IRESS pun mengajak masyarakat untuk menolak revisi dari aturan ini.
Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara menilai, revisi ini bertujuan untuk mengakomodasi perpanjangan pengelolaan operasi sejumlah tambang besar batubara oleh pengusaha PKP2B generasi pertama yang akan berakhir kontraknya dalam beberapa tahun mendatang.
Namun, menurut Marwan, revisi tersebut bertentangan dengan amanat Konstitusi dan sejumlah ketentuan UU No.4/2009 tentang Minerba, yakni Pasal 83, Pasal 169 dan Pasal 171. "UU Minerba tidak mengenal adanya perpanjangan KK/PKP2B dan tidak mempunyai hak untuk memperoleh perpanjangan usaha pertambangan secara otomatis saat kontrak berakhir, walaupun bentuk kerja samanya berubah menjadi IUPK" ungkap Marwan melalui keterangan tertulisnya, Kamis (15/11).
Menurutnya, setelah berakhirnya masa berlaku suatu kontrak (KK atau PKP2B), pemerintah mempunyai wewenang penuh untuk tidak memperpanjang kontrak, dimana seluruh wilayah kerja (WK) tambang yang tadinya dikelola kontraktor harus dikembalikan kepada negara. Negara berkuasa penuh atas WK tambang, yang kemudian berubah menjadi wilayah pencadangan negara (WPN).
Pengelolaan lebih lanjut atas WPN diproses melalui tender dan persetujuan DPR. Namun, sesuai amanat konstitusi dan kepentingan strategis negara, dan terutama guna menjamin ketahanan energi nasional, maka pengelolaan atas WPN tersebut dilakukan oleh BUMN khusus yang 100% sahamnya milik negara, dan dapat digabungkan menjadi salah satu anggota Holding BUMN Tambang.
Sehingga, pasokan energi batubara untuk PLN dan industri dalam negeri akan lebih terjamin, bertarif khusus dan berkelanjutan, serta bebas potensi penyelewengan dan praktik-praktik tidak prudent yang rawan terjadi seperti selama ini.
IRESS meyakini, rencana revisi PP No.23/2010 sarat dengan perilaku moral hazard dan dugaan KKN oleh oknum-oknum penguasa dan pengusaha, sehingga berpotensi merugikan negara ratusan triliun rupiah.
Selain itu, alasan Kementerian ESDM yang mengatakan bahwa revisi aturan ini dilakukan untuk memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan nasional dan kepastian berusaha bagi pemegang KK dan PKP2B, serta adanya potensi penurunan pendapatan negara jika WK-WK tambang tersebut dikelola BUMN, dinilai oleh IRESS absurd dan mengada-ada.
"Jika revisi PP No.23/2018 tetap terjadi, maka manfaat bagi kemakmuran rakyat berkurang dan pihak yang paling diuntungkan adalah para kontraktor tambang batubara, yang selama ini telah menikmati keuntungan yang sangat besar dari kekayaan milik negara" ungkapnya.
Padahal, lanjut Marwan, jika WK-WK pertambangan tersebut dikembalikan kepada negara, maka negara akan mendapat pemasukan keuangan ratusan triliun rupiah, tanpa harus membayar sepeser pun.
Marwan menambahkan, hal ini sangat ironis, di saat ingin memiliki 51% saham Freeport, pemerintah bersedia membayar sangat mahal dan berlebihan, hingga US$3,85 miliar, dimana PT Inalum pun sulit mendapatkan dukungan pemberi hutang.
IRESS pun mengingatkan Presiden Jokowi untuk mematuhi amanat konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta konsisten dengan visi-misi Nawacita dan Trisakti yang diusung. Juga mengajak partai-partai yang ada, untuk melakukan langkah konkret guna membatalkan rencana revisi tersebut.
Hal itu juga dimaksudkan untuk mencegah oknum-oknum pemburu rente yang ingin memanfaatkan perubahan aturan tersebut, apalagi dimanfaatkan untuk menjadi sumber logistik guna memenangkan Pemilu, atau bahkan Pilpres 2019.
"SDA minerba adalah kekayaan negara yang menjadi milik rakyat, bukan milik pemerintah. Jika revisi PP No.23/2010 tetap dilanjutkan, manfaat terbesar SDA akan terus dinikmati oleh para pengusaha dan oknum-oknum penguasa yang menjadi komponen oligarki," kata Marwan.
Adapun, sejumlah perusahaan batubara yang akan habis masa kontraknya antara lain adalah PT Tanito Harum (2019), PT Arutmin Indonesia (2020), PT Kaltim Prima Coal (2021), PT Multi Harapan Utama (2022), PT Adaro Indonesia (2022), PT Kideco Jaya Agung (2022) dan PT Berau Coal pada tahun 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News