Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memprediksi angka subsidi sektor energi dapat membengkak hingga Rp 400 triliun tahun 2026.
"Subsidi masih terlalu tinggi dan diperkirakan pada tahun 2026 subsidi kita bisa mencapai Rp 400 triliun,” ujar Dirjen Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Tri Winarno dalam acara Energi & Mineral Festival 2025 di Jakarta, Kamis (31/7).
Menurut Tri, prediksi Rp 400 triliun ini dihitung berdasarkan kebutuhan subsidi seluruh sektor energi, mulai dari subsidi LPG, BBM hingga listrik.
Baca Juga: Ekonom Celios: Impor Energi dari AS Bisa Dorong Subsidi 2026 Tembus Rp 300 Triliun
Adapun, angka ini bisa menjadi kenyataan menurut dia jika Indonesia tidak segera melakukan langkah hilirisasi dengan melakukan efisiensi sumber daya dalam negeri.
"Nah, kalau misalnya kita bisa efisien, bisa kita kurangi, misalnya subsidi LPG misalnya. Kemudian Pertalite, itu kan subsidi disana. Tapi (disusun) mekanisme untuk bagaimana supaya tepat sasaran, nah ini lagi kita pikirkan,” terangnya.
Tri menegaskan pemerintah sedang merancang mekanisme baru berbasis data agar subsidi bisa lebih tepat sasaran. Salah satunya dengan menambahkan data penerima bantuan sosial (bansos) dalam perbaikan skema subsidi ke depan.
"Kalau misalnya kita nggak care terhadap itu (angka subsidi), bisa mencapai sampai segitu. Bisa melebar sampai segitu,” imbuhnya.
Sebelum angka keluar dari ESDM, pembengkakan subsidi energi sudah diprediksi oleh Center of Economic and Law Studies (Celios).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai bahwa peningkatan subsidi energi, sejalan dengan tren impor komoditas energi dari AS dan penyesuaian tarif resiprokal.
"Subsidi energi 2026 yang dirancang sekitar Rp 200 triliun kemungkinan tidak akan cukup. Jika kita menjalankan skema tarif 19% serta mengikuti hasil negosiasi dengan Presiden Trump, kebutuhan subsidi energi bisa melonjak hingga Rp 300 triliun," kata Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (20/7).
Penurunan tarif dari 32% menjadi 19% dinilai Bhima justru mendorong Indonesia untuk membeli lebih banyak produk energi dari AS. Sayangnya, impor tersebut akan memakan waktu dan biaya logistik yang lebih besar.
"Dengan tarif ini, artinya Indonesia harus membeli lebih banyak lagi produk energi dari AS. Padahal biaya logistiknya lebih mahal dan waktunya lebih panjang," tambahnya.
Selanjutnya: Tarif PPh Kripto Naik Mulai Besok, Cek Potensi Penerimaan yang Masuk ke Kas Negara
Menarik Dibaca: Yuk Jalan-jalan, Ini Jadwal KRL Jogja Solo pada Jumat 1 Agustus 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News