kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.590.000   29.000   1,13%
  • USD/IDR 16.782   -20,00   -0,12%
  • IDX 8.538   -46,87   -0,55%
  • KOMPAS100 1.181   -4,39   -0,37%
  • LQ45 845   -3,52   -0,41%
  • ISSI 305   -2,17   -0,71%
  • IDX30 436   -0,64   -0,15%
  • IDXHIDIV20 511   0,73   0,14%
  • IDX80 132   -0,80   -0,61%
  • IDXV30 138   -0,07   -0,05%
  • IDXQ30 140   0,34   0,25%

Pakar Ungkap 3 Masalah Utama dalam Percepatan Penggunaan Gas Bumi di Indonesia


Rabu, 24 Desember 2025 / 18:38 WIB
Pakar Ungkap 3 Masalah Utama dalam Percepatan Penggunaan Gas Bumi di Indonesia
ILUSTRASI. PGN (PGAS) Andalkan Offtake Tandes Salurkan 10 MMSCFD Gas Bumi (DOK/PGN)


Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gas bumi semakin menempati posisi strategis dalam agenda ketahanan dan transisi energi nasional sebagai sumber energi fosil yang lebih bersih sekaligus penopang keandalan pasokan menuju target Net Zero Emission 2060.

Sejalan dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan Asta Cita 2024–2029, pemerintah mendorong peningkatan pemanfaatan gas bumi di sektor industri dan rumah tangga di tengah proyeksi kenaikan konsumsi gas dan penurunan penggunaan LPG.

Namun, percepatan peran gas bumi masih dihadapkan pada tiga masalah besarketerbatasan infrastruktur, ketidakpastian pasokan hulu, serta perubahan skema pembiayaan jaringan gas rumah tangga yang tidak lagi didukung APBN sejak 2023.

Dalam diskusi publik yang diselenggarakan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov – Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan, INDEF, menyoroti kesenjangan struktural antara target dan realisasi produksi gas bumi nasional yang berlangsung konsisten dalam beberapa tahun terakhir.

Di tengah peningkatan target pemanfaatan gas dalam Kebijakan Energi Nasional, tren produksi gas justru cenderung menurun, sementara realisasi pemanfaatan gas dalam bauran energi tertinggal jauh dari sasaran.

Ketidaksinkronan ini mencerminkan persoalan sistemik pada sisi hulu, mulai dari penambahan cadangan hingga keberlanjutan produksi, yang berdampak langsung pada kepastian pasokan gas domestik.

Baca Juga: Kepastian Pasokan Gas Bumi Jadi Penentu Hilirisasi Industri Nasional

Selain sisi produksi, Abra menekankan kesenjangan infrastruktur gas bumi sebagai hambatan utama optimalisasi pemanfaatan gas di dalam negeri.

Pengembangan jaringan pipa transmisi dan distribusi belum mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhan gas, baik secara sektoral maupun kewilayahan.

"Kondisi ini memperbesar risiko mismatch antara lokasi pasokan dan pusat permintaan, sekaligus membatasi fleksibilitas alokasi gas domestik di tengah meningkatnya kebutuhan energi nasional," kata dia dalam diskusi yang disiarkan daring, dikutip Rabu (24/12/2025).

Tekanan permintaan gas bumi diproyeksikan semakin kuat dari sektor ketenagalistrikan dan industri pupuk. Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 mencantumkan penambahan pembangkit berbasis gas yang signifikan sehingga kebutuhan gas untuk sektor listrik meningkat dalam jangka menengah.

Pada saat yang sama, terbitnya Perpres No. 113 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Pupuk Bersubsidi membuka ruang revitalisasi pabrik pupuk nasional, yang berimplikasi pada lonjakan kebutuhan gas bumi domestik sebagai bahan baku utama.

Abra menilai peningkatan permintaan tersebut perlu diimbangi dengan percepatan produksi gas, penguatan alokasi gas untuk kebutuhan dalam negeri, serta integrasi perencanaan supply–demand secara menyeluruh.

Tanpa langkah korektif pada sisi hulu dan infrastruktur, kesenjangan antara kebutuhan dan pasokan berpotensi memicu defisit gas bumi berkepanjangan dan pada akhirnya melemahkan agenda swasembada energi nasional.

Baca Juga: Pemerintah Dinilai Punya Banyak Opsi Untuk Menyelamatkan Industri Pengguna Gas Bumi

Terakhir, Abra menekankan perlunya penguatan peran negara melalui penugasan BUMN, insentif fiskal dan nonfiskal, serta kepastian regulasi jangka panjang.

"Tanpa intervensi kebijakan yang konsisten, tekanan defisit gas domestik berpotensi meningkat dan mendorong impor gas di masa depan, yang bertentangan dengan agenda swasembada energi," jelas dia.

Kesenjangan antara target nasional dan kapasitas implementasi ini menegaskan pentingnya penguatan tata kelola, intervensi kebijakan, dan koordinasi lintas pemangku kepentingan agar gas bumi dapat berperan optimal dalam mendukung swasembada energi dan transformasi ekonomi hijau Indonesia.

Dalam kesempatan yang sama Hendra Gunawan – Direktur Pembinaan Program Migas, Kementerian ESDM, menyoroti tekanan struktural pada ketahanan energi nasional yang bersumber dari penurunan produksi minyak domestik, keterbatasan kapasitas kilang, serta ketergantungan impor BBM dan LPG.

Disparitas antara harga keekonomian dan harga jual energi memperbesar beban subsidi sekaligus meningkatkan risiko gangguan pasokan. Dalam konteks tersebut, gas bumi ditempatkan sebagai penopang penting stabilitas energi nasional di masa transisi.

Gas bumi dipandang memiliki keunggulan dari sisi emisi dan keekonomian dibanding minyak dan batu bara. Hingga September 2025, pemanfaatan gas domestik telah mencapai hampir 70 persen dengan sektor industri sebagai pengguna terbesar.

"Ke depan, arah kebijakan difokuskan pada penurunan ekspor LNG dan pemenuhan kebutuhan dalam negeri melalui percepatan eksplorasi, peningkatan produksi, serta penguatan infrastruktur pipa dan regasifikasi," kata dia.

Disisi lain, Ketua Indonesian Gas Society, Aris Mulya Azof menguraikan pergeseran lanskap energi global, di mana permintaan minyak diperkirakan melandai pada 2030-an, sementara permintaan gas, terutama LNG terus meningkat hingga pertengahan 2040-an dengan Asia sebagai motor pertumbuhan.

Perubahan ini menempatkan gas bumi bukan sekadar bahan bakar peralihan, melainkan elemen strategis dalam
sistem energi global.

Baca Juga: PGN Andalkan Offtake Tandes Salurkan Gas Bumi untuk Industri dan Rumah di Surabaya

Dalam konteks Indonesia, tantangan utama muncul dari ketidakseimbangan pasokan dan permintaan antarwilayah akibat karakteristik kepulauan.

Ke depan, sumber gas baru cenderung berasal dari laut dalam dan membutuhkan monetisasi melalui LNG, dengan implikasi investasi besar, waktu pengembangan panjang, serta harga yang semakin terhubung dengan dinamika pasar global.

"Pengembangan infrastruktur gas dan LNG yang terintegrasi serta kepastian kebijakan dipandang krusial untuk menjaga ketahanan energi nasional," ungkap dia.

Sebagai bagian dari BUMN, Direktur Strategi dan Pengembangan Bisnis PT Pertamina Gas Negara (PGN), Mirza Mahendra, menjelaskan peran strategis infrastruktur gas dalam mendukung agenda swasembada energi dan transformasi ekonomi hijau.

Gas bumi diproyeksikan tetap menjadi bagian penting bauran energi nasional hingga 2060, seiring meningkatnya kebutuhan energi akibat elektrifikasi industri, transportasi, dan rumah tangga.

Integrasi jaringan pipa, LNG, dan skema beyond pipeline dinilai krusial untuk mengatasi ketimpangan pasokan antar wilayah.

Baca Juga: Genjot Gas Bumi di Sumut, PGN Gagas Bangun Mother Station CNG di Medan

Adapun, strategi jangka panjang PGN disusun melalui pendekatan Grow, Adapt, dan Step-Out, mencakup optimalisasi aset eksisting, ekspansi infrastruktur gas, serta pengembangan bisnis rendah karbon seperti biomethane dan hidrogen.

Program jaringan gas rumah tangga diposisikan sebagai instrumen pengurangan impor LPG dan beban subsidi, meskipun masih menghadapi tantangan keekonomian, perubahan pola konsumsi masyarakat, serta keterbatasan dukungan fiskal.

Di sisi lain, Direktur Perencanaan Strategis, Portofolio, dan Komersial Pertamina Hulu Energi (PHE) Edi Karyanto, memaparkan peran sektor hulu migas sebagai penopang keandalan pasokan energi nasional selama fase transisi.

Dengan pengelolaan sekitar 27 persen wilayah kerja migas, PHE memberikan kontribusi signifikan terhadap produksi minyak dan gas domestik. Fokus utama diarahkan pada eksplorasi berdampak tinggi, pengembangan lapangan, serta penerapan teknologi EOR dan CEOR untuk menjaga keberlanjutan produksi.

Di sisi lain, peningkatan konsumsi domestik menekan surplus gas dan memperkuat kebutuhan akan dukungan infrastruktur serta kebijakan yang menjaga kelayakan ekonomi proyek gas.

"Selain mempertahankan baseline produksi, PHE juga mengembangkan portofolio bisnis rendah karbon, termasuk CCS/CCUS, sebagai bagian dari upaya dekarbonisasi dan ketahanan energi jangka panjang," ungkapnya.

Baca Juga: PGN Salurkan Gas Bumi ke Wisma Atlet, Hadirkan Energi Bersih di Rusun Jakarta  

Selanjutnya: Gempa Magnitudo 6,1 Guncang Taiwan Tenggara, Getaran Terasa hingga Ibu Kota Taipei

Menarik Dibaca: 6 Makanan Tinggi Protein yang Bisa Turunkan Gula Darah Tinggi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Tag


TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi, Tips, dan Kertas Kerja SPT Tahunan PPh Coretax Orang Pribadi dan Badan Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM)

[X]
×