Sumber: TribunNews.com | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Anggota Kadin Indonesia, Diana Napitupulu menyatakan situasi adanya kenaikan harga elpiji menunjukkan kacaunya manajemen migas Indonesia.
“Rezim SBY dulu yang mengumumkan konversi minyak tanah ke gas. Kini setelah pemakai gas meningkat, harga gas malah dipermainkan,” ujar Diana, Senin(6/1/2014).
Sementara itu alumnus Oklahoma State University DR. Jeffry W. Wurangian M.Sc menilai kerugian yang diderita tidak seharusnya dibebankan pada masyarakat.
“Jika gas 12 kg merugi besar, memaksimalkan sektor lain bisa menjadi langkah strategis. Pertamina kan masih punya produk selain gas,” ujar Jeffry.
Anggota Ikatan Bankir Indonesia ini juga menilai, manajemen Pertamina harus diremajakan agar mampu membuat terobosan terkait industri migas Indonesia.
“Yang paling merasakan dampak dari kenaikan ini adalah lapisan masyarakat menengah ke bawah, yaitu kelompok masyarakat yang jumlahnya sangat besar,” ujar pria yang menjabat Sekjen Asosiasi Bank Pembangunan Daerah sejak 2012 ini .
Diperkirakan, akibat lonjakan harga tabung 12 kilogram akan ada migrasi konsumen dari pengguna gas 12 kilogram ke gas 3 kilogra,. Tabung gas berwarna hijau yang disubsidi pemerintah tersebut akan kebanjiran permintaan yang berimplikasi pada ketersediaan dan stabilitas harga barang.
Ekses dari tingginya harga gas 12 kilogram membuat masyarakat pengguna gas bersubsidi bertambah dan semakin membebani APBN 2014.
Keputusan Pertamina menaikkan harga gas elpiji 12 kilogram dihujani protes berbagai kalangan. Kenaikan harga gas non-subsidi yang mencapai 68% sehingga harganya melonjak dari kisaran Rp. 78.000 – Rp. 80.000 menjadi Rp.138.000. Harga di bagian timur Indonesia juga meroket, bahkan di Papua mencapai harga Rp. 300.000 per tabung.
Pertamina mengklaim kenaikan tersebut untuk menanggulangi kerugian yang diakibatkan bisnis tabung 12 kilogram yang tidak disubsidi pemerintah. Pertamina berpegang pada hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menemukan kerugian sebesar Rp 7 triliun pada 2013.
Inilah yang menjadi alasan Pertamina memutuskan kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram. Sayangnya, pemerintah justru menyatakan, Pertamina tidak berkoordinasi mengenai kenaikan tersebut.
Menko Ekonomi Hatta Rajasa menyebut langkah Pertamina menaikkan harga gas 12 kilogram sebagai corporate action, karena tidak berkaitan dengan subsidi pemerintah. Sikap saling tunjuk dan lepas tangan pemerintah dan Pertamina meresahkan masyarakat.
Anjuran pemerintah setelah rapat terbatas, Minggu (5/1/2014) yang meminta Pertamina meninjau kembali kenaikan tersebut tidak memberi jawaban yang dibutuhkan rakyat. Lagi-lagi rakyat Indonesia ditempatkan pada situasi yang menjepit dan tidak pasti. (Bahri Kurniawan)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News