Reporter: Nurmayanti | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Pengusaha industri plastik dalam negeri tersenyum kecut. Ekspor plastik mereka yang mencapai US$ 500 juta per tahun terancam semakin mengerucut. Penyebabnya, produk plastik Indonesia kalah bersaing dengan negara lain seperti Thailand, China dan Vietnam.
“Harga produk ketiga negara itu lebih murah karena pemerintah mereka memberikan berbagai subsidi kepada sektor hulu – hilir petrokimia, terutama pajak,” kata Direktur Pelatihan Industri Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia (INAplas) Yoesoef Santo, Selasa (20/1).
Salah satu indikasinya, sejak Oktober hingga awal 2009, produsen dalam negeri tak mendapatkan pesanan sama sekali dari negara pembeli seperti Amerika dan Eropa. Sebab, mereka diketahui mengalihkan pembelian ke negara lain yang lebih murah.
Setelah dibandingkan, produk Indonesia memiliki selisih lebih mahal 10% hingga 15% dari negara pesaing. Biaya produksi yang tidak efisien menjadi penyebabnya. Direktur Pelatihan Industri Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia (INAplas) Yoesoef Santo menjelaskan, dari 6.000 perusahaan plastik dalam negeri, produsen yang berorientasi ekspor hanya sebanyak 17 perusahaan.
Di Indonesia, industri pengolahan plastik justru tak mendapatkan subsidi apa pun. Bahkan pemerintah membebani dengan berbagai kebijakan yang semakin meningkatkan biaya produksi. Struktur biaya produksi dari bahan baku berkontribusi signifikan atau sekitar 60% - 70%. Belum lagi, biaya yang tidak resmi seperti pungutan liar. Sebab itu, produk plastik Indonesia menjadi tak kompetitif.
Pesanan yang tak kunjung datang bakal memberikan dampak lebih besar lagi. Bila terus berlanjut maka sangat mungkin produsen lokal tak lagi melakukan ekspor pada tahun ini. Bukan tidak mungkin produsen bakal tergerus dengan pedagang plastik di pasar domestik.
Beberapa faktor yang menyebabkan harga produk plastik lokal tak kompetitif, antara lain tingginya harga bahan baku yang dipasok dari sektor hulu petrokimia. Meski, harga bahan plastik antara lain polietilena (PE) dan polipropilena (PP) anjlok menjadi sekitar US$ 800 per ton, produsen plastik tetap terbebani penggunaan transaksi domestik dengan nilai tukar dolar AS.
Bukti nyata keterpurukan industri plastik terlihat dari kinerja kapasitas produksi mereka yang saat ini terpangkas hingga 40%. “Seharusnya, industri ini mendapatkan perhatian pemerintah mengingat penyerapan tenaga kerjanya sangat tinggi. Dengan total tenaga kerja sekitar 200.000 orang,” ujarnya.
Berdasarkan catatan INAplas, selama ini, ke-17 produsen itu mengekspor produk mereka ke negara-negara di kawasan Asean, Jepang, sejumlah negara di Asia Timur, dan Uni Eropa. Nilai ekspor komoditas hilir petrokimia ini setiap tahun mencapai sekitar US$400 juta – US$500 juta.
Ketua Umum Asosiasi Industri Kemas Fleksibel Indonesia (Rotokemas Indonesia) Felix S. Hamidjaja menambahkan, mereka meminta pemerintah mengkaji kembali kebijakan penetapan bea masuk antidumping (BMAD) untuk produk film plastik yang merupakan bahan baku kemasan plastik. Pengusaha beralasan, kebijakan itu menyebabkan produksi kemasan fleksibel terpangkas 30%.
“Produksi akan jatuh karena kami tak mungkin mengolah produk dengan bahan baku yang amat mahal. Kondisi ini secara otomatis bisa memicu kelangkaan pasokan plastik kemasan di pasar lokal,” ujar Felix.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News