Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Produsen olefin dan plastik dalam negeri gundah. Mereka yakin, impor produk Polipropilena (PP) dan Polietilena (PE) tahun depan bakal naik dua kali lipat seperti kenaikan dari 2007 ke 2008.
Bahkan, dua tahun lagi, arus impor bahan baku plastik ini bakal lebih deras. Sebab, produsen PE dan PP dari Timur Tengah dan Asia Timur menambah kapasitas produksi besar-besaran hingga 11,762 juta metrik ton (MT) mulai 2010. Dari total perkiraan kenaikan hingga 11,762 juta itu, produk PP sebesar 3,085 juta MT, bijih plastik (LLDPE) 3,685 juta, dan kantong kresek alias plastik HD (HDPE) 4,992 juta sampai 2010.
Salah satu target pasar ekspor empuk adalah Indonesia. Akibatnya, industri PP dan PE lokal terancam menurunkan utilisasi produksi. Saat ini saja, stok produsen nasional menumpuk hingga 90.000 MT. “Bila produk impor semakin banyak masuk dan stok kami terus menumpuk, itu sangat mengkhawatirkan,” kata Budi Susanto Sadiman, Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin dan Plastik (Inaplas), Ahad (30/11).
Secara kualitas, PP dan PE impor dari luar negeri lebih bagus ketimbang buatan lokal. Rata-rata, produknya memakai teknologi terbaru. Alhasil, industrinya lebih efisien. Produknya juga lebih kompetitif. Produksi lokal masih menggunakan teknologi lama.
Saat ini, pengusaha mengaku sudah melihat tanda-tanda peningkatan produk impor. Dari data Inaplas, impor sudah melonjak dua kali lipat dari 50.000 MT pada 2007 menjadi 100.000 MT di 2008. Memang, selama ini, industri dalam negeri masih butuh produk impor. Sebab, empat produsen olefin dan plastik nasional baru mampu memasok industri plastik dalam negeri sebesar 2 juta ton per tahun. Padahal, total kebutuhan industri ini sekitar 2,5 juta ton.
Meski begitu, pengusaha menganggap perlu meminta proteksi terkait rencana industri bahan baku plastik dalam negeri menambah kapasitas produksi sebesar 386.000 MT pada 2011-2012. “Untuk itu, kami membutuh bantuan peningkatan daya saing, salah satunya adalah pemerintah menaikkan tarif bea masuk (BM) yang berlaku umum atau most favoured nation (MFN),” kata Budi.
Industri minta, kenaikan tarif BM impor setidaknya sama dengan Thailand dan Malaysia. Kecuali Singapura, negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina menerapkan tarif bea masuk MFN masing-masing sebesar 25%, 20%, dan 15% atau lebih tinggi dibanding Indonesia yang masih berkisar 5%-10%.
Direktur industri kimia hulu Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (Depperin) Alexander Barus mengaku pemerintah masih menggodok usulan pengusaha. “Usulan sudah masuk pada November ke tim tarif Departemen Keuangan, tapi dikoordinir Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Depperin,” ujar Alexander.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News