Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Paket Peraturan Pemerintah (PP) terkait pertambangan batubara belum juga terbit. Di tengah penerbitan regulasi yang masih menggantung itu, muncul polemik mengenai permintaan dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno supaya BUMN bisa mendapatkan porsi atas tambang pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang akan berakhir masa kontraknya.
Menurut pengamat hukum sumber daya alam Universitas Tarumanegara Ahmad Redi, permintaan yang disampaikan oleh Menteri BUMN tersebut sudah tepat. Sebab, Redi menilai jika masa kontrak PKP2B sudah berakhir, maka tidak secara otomatis berubah status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Melainkan, wilayah eks. PKP2B harus dikembalikan kepada negara. Setelah itu, imbuh Redi, oleh negara yang dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI kemudian dapat ditetapkan menjadi Wilayah Pencadangan Negara (WPN), lalu menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
"Setelah WIUPK kemudian ditawarkan kepada BUMN, bila BUMN berminat, diberikan lah IUPK. Bila BUMN tidak berminat, ditawarkan kepada swasta melalui lelang, pihak swasta yang menang diberikan IUPK," jelas Redi saat dihubungi Kontan.co.id, Senin (1/4).
Redi mengungkapkan, ketentuan tersebut telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 atau UU Minerba. Sedangkan untuk luas wilayah pertambangan, lanjut Redi, hal tersebut pun telah diatur dalam UU Minerba Pasal 83, dimana poin "d" pada Pasal tersebut menyebutkan luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan betubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 hektare.
"Jadi PP yang akan dibentuk tidak boleh melanggar ketentuan dalam UU Minerba tersebut," tambahnya. Sementara, jika para pemegang PKP2B mengacu pada amandemen kontrak yang telah dilakukan, Redi menilai hal tersebut bukan lah merupakan landasan hukum yang kuat.
"Itu kan hanya berlaku selama kontrak berlaku, bila sudah habis masa kontraknya, maka harus tunduk pada UU Minerba. Itu kan hanya mengatur mengenai PKP2B dan bukan IUP/IUPK," terang Redi.
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, apabila PKP2B yang akan habis kontrak tersebut bisa didapatkan BUMN, maka itu bisa berdampak positif terhadap ketahanan energi nasional secara jangka panjang.
Dalam perhitungannya, Yusri menyampaikan bahwa ada potensi produksi batubara sebesar 200 juta ton per tahun dari delapan PKP2B generasi pertama yang akan habis kontrak. Yusri bilang, dengan asumsi mendapatkan untung bersih sebesar US$ 10 per ton, maka ada potensi tambahan penerimaan negara sebesar US$ 2 miliar di luar penerimaan pajak dan royalti hasil tambang.
Apalagi, cadangan batubara yang bisa diserap oleh BUMN bisa menjamin pasokan energi untuk ketenagalistrikan yang hampir 60% masih mengandalkan batubara. Jadi, sambung Yusri, revisi PP ini harus tetap berdasar pada Pasal 75 UU Minerba khususnya terkait dengan prioritas pengelolaan kepada BUMN dan BUMD, serta wilayah operasi produksi IUPK dengan luasan 15.000 hektare.
"Prinsipnya RPP ke 6 (PP Nomor 23 Tahun 2010) sah-sah saja, tetapi tidak boleh bertentangan dengan isi UU Minerba tersebut," sebut Yusri.
Adapun, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif menilai, belum terbitnya PP tentang bidang usaha batubara ini karena pemerintah bersikap hati-hati untuk menghindari persepsi PP tersebut memihak pada perusahaan batubara tertentu. "Ini persepsi saya, kesan saya pemerintah berhati-hati untuk menghindari PP tersebut memihak perusahaan tertentu," ungkap Irwandy.
Sementara soal masa pengajuan perpanjangan izin, Irwandy sepakat jika tenggat pengajuannya bisa diperpanjang, dari yang sebelumnya dua tahun menjadi lima tahun sebelum habis kontrak. Irwandy menilai, ini menyangkut dengan kepastian berusaha yang diperlukan oleh perusahaan pertambangan batubara.
"Semua perusahaan tambang memerlukan kepastian berusaha. Menurut saya, waktu dua tahun sebelum habis kontrak terlalu pendek, memang lebih baik lima tahun," terangnya.
Namun, soal batasan luas lahan tambang, Irwandy masih belum bisa menyebutkan berapa luasan idealnya, karena menurutnya diperlukan kajian mendalam di masing-masing perusahaan. "Kalau luas lahan tentunya harus benar-benar melalui kajian tentang sebaran endapan batubara di setiap PKP2B," tandas Irwandy.
Seperti diketahui, revisi PP Nomor 23 tahun 2010 ini pada pokoknya mengatur mengenai perizinan dan perubahan status PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Adapun, diluar PT Tanito Harum yang sudah habis kontrak pada 14 Januari 2019 lalu, ada tujuh PKP2B yang dalam beberapa tahun ke depan akan mengakhiri kontraknya.
Ketujuh PKP2B tersebut adalah perusahaan-perusahaan raksasa. Yakni PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News