Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Handoyo .
Dalam perhitungannya, Yusri menyampaikan bahwa ada potensi produksi batubara sebesar 200 juta ton per tahun dari delapan PKP2B generasi pertama yang akan habis kontrak. Yusri bilang, dengan asumsi mendapatkan untung bersih sebesar US$ 10 per ton, maka ada potensi tambahan penerimaan negara sebesar US$ 2 miliar di luar penerimaan pajak dan royalti hasil tambang.
Apalagi, cadangan batubara yang bisa diserap oleh BUMN bisa menjamin pasokan energi untuk ketenagalistrikan yang hampir 60% masih mengandalkan batubara. Jadi, sambung Yusri, revisi PP ini harus tetap berdasar pada Pasal 75 UU Minerba khususnya terkait dengan prioritas pengelolaan kepada BUMN dan BUMD, serta wilayah operasi produksi IUPK dengan luasan 15.000 hektare.
"Prinsipnya RPP ke 6 (PP Nomor 23 Tahun 2010) sah-sah saja, tetapi tidak boleh bertentangan dengan isi UU Minerba tersebut," sebut Yusri.
Adapun, Ketua Indonesia Mining Institute (IMI) Irwandy Arif menilai, belum terbitnya PP tentang bidang usaha batubara ini karena pemerintah bersikap hati-hati untuk menghindari persepsi PP tersebut memihak pada perusahaan batubara tertentu. "Ini persepsi saya, kesan saya pemerintah berhati-hati untuk menghindari PP tersebut memihak perusahaan tertentu," ungkap Irwandy.
Sementara soal masa pengajuan perpanjangan izin, Irwandy sepakat jika tenggat pengajuannya bisa diperpanjang, dari yang sebelumnya dua tahun menjadi lima tahun sebelum habis kontrak. Irwandy menilai, ini menyangkut dengan kepastian berusaha yang diperlukan oleh perusahaan pertambangan batubara.
"Semua perusahaan tambang memerlukan kepastian berusaha. Menurut saya, waktu dua tahun sebelum habis kontrak terlalu pendek, memang lebih baik lima tahun," terangnya.
Namun, soal batasan luas lahan tambang, Irwandy masih belum bisa menyebutkan berapa luasan idealnya, karena menurutnya diperlukan kajian mendalam di masing-masing perusahaan. "Kalau luas lahan tentunya harus benar-benar melalui kajian tentang sebaran endapan batubara di setiap PKP2B," tandas Irwandy.
Seperti diketahui, revisi PP Nomor 23 tahun 2010 ini pada pokoknya mengatur mengenai perizinan dan perubahan status PKP2B menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Adapun, diluar PT Tanito Harum yang sudah habis kontrak pada 14 Januari 2019 lalu, ada tujuh PKP2B yang dalam beberapa tahun ke depan akan mengakhiri kontraknya.
Ketujuh PKP2B tersebut adalah perusahaan-perusahaan raksasa. Yakni PT Arutmin Indonesia yang kontraknya akan berakhir pada 1 November 2020, PT Kendilo Coal Indonesia (13 September 2021), PT Kaltim Prima Coal (KPC) pada 31 Desember 2021, PT Multi Harapan Utama (1 April 2022), PT Adaro Indonesia (1 Oktober 2022), PT Kideco Jaya Agung (13 Maret 2023), dan PT Berau Coal (26 April 2025).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News