Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
Menurut APREGINDO, saat ini Bea Masuk yang dikenakan kepada garmen impor sudah cukup tinggi, yaitu sebesar 25%. Dalam hitungan APREGINDO, BMTP ini berpotensi menggerus margin keuntungan dan berpengaruh cukup tinggi terhadap FoB (sampai dengan 70% dari FoB).
Baca Juga: Impor Pakaian Dikenakan Bea Masuk Anti Dumping
Kehadirannya bisa menambah biaya-biaya lainnya, di antaranya seperti PPH impor, proses sertifikasi SNI untuk beberapa kategori produk impor, proses inspeksi sebelum produk impor tiba di Indonesia, biaya perizinan yang tinggi serta biaya pajak langsung dan tidak langsung.
Kepada Kontan.co.id, Ketua Umum APREGINDO Handaka Santosa mengatakan, bahwa penerapan BMTP akan membuat industri ritel Indonesia semakin tidak kompetitif baik dari sisi harga dan kelengkapan dan variasi produk jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dll.
Pasalnya, kenaikan harga produk-produk impor pakaian merk global akibat pengenaan BMTP bisa membuat konsumen kelas menengah dan atas lebih memilih untuk berbelanja ke luar negeri dan membuat jasa penitipan barang dari luar negeri (jastip) semakin marak.
Hal ini pada gilirannya juga bisa mengakibatkan potensi penurunan penerimaan negara dari PPN ritel dan bea masuk.
“Dengan tambahan BMTP (FOB/nilai barang yang harusnya dibayar) menjadi lebih dari 70%, gimana turis nggak belanja ke Singapore, Thailand, Kuala Lumpur?” ujar Handaka saat dihubungi Kontan.co.id (17/11).
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan bahwa kebijakan BMTP impor produk dan aksesori pakaian bisa mengimbangi kebijakan BMTP atau safeguard untuk bahan baku tekstil impor yang sebelumnya telah berlaku serta mendorong pebisnis garmen untuk melakukan produksi di dalam negeri.
“Kalau (BMTP) pakaian jadinya nol, orang akan berbondong-bondong membeli pakaian jadi tanpa harus bersusah-susah untuk membuat di dalam negeri,” ujar Jemmy kepada Kontan.co.id (17/11).