Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aturan pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) atas impor produk dan aksesori pakaian menuai pro dan kontra. Kekecewaan terhadap kebijakan ini datang dari Asosiasi Pengusaha Ritel Merek Global Indonesia (APREGINDO) yang terdiri dari perusahaan distribusi, pemegang merek dan prinsipal merek (brand) internasional di Indonesia.
Pada 9 November 2021 lalu, APREGINDO telah berkirim surat kepada Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani dengan tembusan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, dan Kepala Badan Kebijakan Fiskal-Kementerian Keuangan, Febrio Nathan Kacaribu.
Dalam surat bernomor 007/KU/Ext/XI/2021 itu, APREGINDO menyampaikan rasa kekecewaannya atas kebijakan BMTP untuk produk impor pakaian.
“Kami sangat menyayangkan adanya tambahan tarif dalam bentuk Bea Masuk Tindakan Pengamanan untuk produk impor pakaian jadi yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 142/PMK.010/2021 tentang Pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan Terhadap Impor Produk Pakaian dan Aksesori Pakaian,” demikian bunyi surat tersebut.
Baca Juga: Pengenaan BMTP untungkan brand lokal, Mega Perintis (ZONE) pun jemput peluang
PMK Nomor 142 Tahun 2021 diundangkan pada 22 Oktober 2021 lalu. PMK ini memberlakukan pengenaan BMTP barang impor berupa produk pakaian dan aksesori pakaian untuk sejumlah Harmonized System (HS) Codes dengan tarif yang beragam.
Besaran bea masuk berkisar Rp 19.260 hingga Rp 63.000 per piece atau per baju untuk tahun pertama. Kemudian, tahun kedua tarifnya berangsur turun menjadi minimal Rp 18.297 hingga Rp 59.850 per piece.
Lalu untuk tahun ketiga lebih turun lagi tarifnya menjadi minimal Rp 17.382 dan maksimal Rp 56.858 per piece.
Pengenaan BMTP ini merupakan tambahan bea masuk umum (Most Favoured Nation) atau tambahan bea masuk preferensi berdasarkan skema perjanjian perdagangan barang internasional yang berlaku dalam hal impor dilakukan dari negara yang termasuk dalam skema perjanjian perdagangan barang internasional.
“Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 21 (dua puluh satu) hari terhitung sejak tanggal diundangkan,” demikian bunyi Pasal 6 PMK ini.
Menurut APREGINDO, saat ini Bea Masuk yang dikenakan kepada garmen impor sudah cukup tinggi, yaitu sebesar 25%. Dalam hitungan APREGINDO, BMTP ini berpotensi menggerus margin keuntungan dan berpengaruh cukup tinggi terhadap FoB (sampai dengan 70% dari FoB).
Baca Juga: Impor Pakaian Dikenakan Bea Masuk Anti Dumping
Kehadirannya bisa menambah biaya-biaya lainnya, di antaranya seperti PPH impor, proses sertifikasi SNI untuk beberapa kategori produk impor, proses inspeksi sebelum produk impor tiba di Indonesia, biaya perizinan yang tinggi serta biaya pajak langsung dan tidak langsung.
Kepada Kontan.co.id, Ketua Umum APREGINDO Handaka Santosa mengatakan, bahwa penerapan BMTP akan membuat industri ritel Indonesia semakin tidak kompetitif baik dari sisi harga dan kelengkapan dan variasi produk jika dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dll.
Pasalnya, kenaikan harga produk-produk impor pakaian merk global akibat pengenaan BMTP bisa membuat konsumen kelas menengah dan atas lebih memilih untuk berbelanja ke luar negeri dan membuat jasa penitipan barang dari luar negeri (jastip) semakin marak.
Hal ini pada gilirannya juga bisa mengakibatkan potensi penurunan penerimaan negara dari PPN ritel dan bea masuk.
“Dengan tambahan BMTP (FOB/nilai barang yang harusnya dibayar) menjadi lebih dari 70%, gimana turis nggak belanja ke Singapore, Thailand, Kuala Lumpur?” ujar Handaka saat dihubungi Kontan.co.id (17/11).
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa mengatakan bahwa kebijakan BMTP impor produk dan aksesori pakaian bisa mengimbangi kebijakan BMTP atau safeguard untuk bahan baku tekstil impor yang sebelumnya telah berlaku serta mendorong pebisnis garmen untuk melakukan produksi di dalam negeri.
“Kalau (BMTP) pakaian jadinya nol, orang akan berbondong-bondong membeli pakaian jadi tanpa harus bersusah-susah untuk membuat di dalam negeri,” ujar Jemmy kepada Kontan.co.id (17/11).
Baca Juga: Menkeu sebut perubahan iklim jadi isu utama dalam pembahasan global
Menurut Jemmy, kebijakan BMTP tidak akan memiliki dampak yang signifikan terhadap bisnis garmen merek global, sebab segmen pasar garmen merek global merupakan segmen pasar menengah dan atas yang tidak akan terlalu terpengaruh dengan penambahan harga belasan-puluhan ribu.
Di sisi lain, kebijakan ini juga bisa menguntungkan pebisnis garmen skala industri kecil dan menengah, sebab pengenaan BMTP bisa berdampak signifikan pada garmen impor segmen low to end yang memang bersaing langsung dengan garmen produksi IKM lokal.
Dihubungi terpisah, Sekretaris Jenderal APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan bahwa kebijakan BMTP terhadap impor pakaian dan aksesoris pakaian bisa memacu permintaan pada rantai industri tekstil di tingkat hulu.
“Ketika ada tambahan demand di hilir, akan ada tambahan demand juga di kain sampai ke fiber,” kata Redma kepada Kontan.co.id (17/11).
Tidak tanggung-tanggung, Redma bahkan memperkirakan bahwa utilisasi produksi industri tekstil hulu bisa mencapai maksimum di periode-periode mendatang sehingga industri hulu perlu melakukan investasi baru penambahan kapasitas produksi di tahun 2022/2023.
Untuk diketahui, saat ini total kapasitas terpasang industri hulu tekstil berkisar 2,5 juta ton per tahun. Berdasarkan catatan APSyFI, saat ini utilisasi produksi industri tekstil hulu sendiri sudah berkisar 85%-90%.
Faktor pendorongnya antara lain ialah menurunnya pasokan barang kompetitor dari China dan Vietnam seiring adanya krisis energi di China serta kebijakan lockdown di Vietnam. “Kalau kita enggak tambah investasi nanti malah bisa shortage di 2024,” ujar Redma.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News