kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Kebijakan di kawasan hutan masih jadi hambatan reforma agraria


Rabu, 15 Januari 2020 / 20:25 WIB
Kebijakan di kawasan hutan masih jadi hambatan reforma agraria
ILUSTRASI. Foto udara kawasan hutan lindung di Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Selasa (6/11/2018).


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA - Kebijakan reforma agraria yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih menemui banyak hambatan. Seperti kebijakan kawasan hutan yang masih kontraproduktif dalam upaya meningkatkan produktivitas lahan.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan IPB Sudarsono Soedomo mengatakan, kebijakan kawasan  hutan masih bertahan dengan wajah lama dengan menguasai dua pertiga daratan sebagai kawasan hutan dan hanya mengalokasikan sepertinya sebagai areal penggunaan lain. 

Baca Juga: Komnas HAM minta pemerintah selesaikan konflik agraria sebelum genjot investasi

Ia menilai klaim kawasan hutan merupakan problem utama dari persoalan tanah di Indonesia. Jika kebijakan itu terus dipertahankan, Indonesia tidak mandiri secara pangan.

“Dengan penduduk 260 juta dan hanya mengandalkan sepertiga kawasan untuk memenuhi kebutuhan pangan sangat berbahaya. Indonesia tidak akan pernah mencapai swasembada pangan  terus tergantung pada impor pangan,” kata Sudarsono, Selasa (14/1).

Sementara itu, penguasaan lahan kehutanan secara berlebihan tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Terbukti, label hutan sejahterakan masyarakat, selama ini hanya menjadi jargon.

Sebagian besar desa yang berada di kawasan hutan tetap miskin Sebaliknya dari sisi kontribusi terhadap PDB (produk domestik bruto), non kawasan hutan yang luasnya hanya 35% justru  berkontribusi 99% lebih, sedangkan kawan hutan hanya berkontribusi kurang dari 1%.

Baca Juga: Menteri ATR BPN Sofyan Djalil targetkan seluruh tanah sudah terdaftar di 2025

Ia menyarankan agar kategori penggunaan tanah sebaiknya mengikuti ketentuan tata ruang yang terbagi dalam kawasan budidaya dan kawasan lindung. Ini untuk mengurangi praktik negara dalam negara dan memberi kepastian bagi masyarakat.

Hariadi Kartodihardjo,Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB lainnya menambahkan bahwa pemerintah perlu berhati-hati agar jangan sampai penataan regulasi  menimbulkan masalah baru seperti korupsi institusional.

“Omnibus law, ketimpangan penguasaan antara kawasan hutan dan bukan kawasan hutan, ketidakpastian kawasan hutan dan implikasinya terhadap aspek sosial, ekonomi dan ekologi harus benar-benar dikawal,” katanya.

Ketua Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan Indonesia (FOReTIKA)  yang juga dekan Fakultas Kehutanan IPB Rinekso Soekmadi menambahkan,  ketika agaria direformasi,  sektor kehutanan seharusnya ikut direformasi karena mendominasi agraria.

Baca Juga: Sofyan Djalil diminta lanjutkan tugas terkait reforma agraria

Hal ini karena berbagai persoalan lahan, khususnya klaim kawasan hutan masih mendominasi konflik masyarakat di berbagai daerah.

“Berbagai perbaikan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan harus dilakukan agar reforma agraria kedepan mampu  mereduksi ketimpangan   struktur   agraria   yang   dipengaruhi   kehutanan,“ imbuhnya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×